Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Para peneliti di Yunani belum lama ini menyimpulkan kekurangan vitamin D tidak terkait secara signifikan dengan infeksi, pemulihan, atau tingkat kematian akibat Covid-19 di negara-negara Eropa.
Lalu, pada bulan Desember, departemen kesehatan Inggris menyarankan masyarakat agar tidak semata-mata mengonsumsi vitamin D untuk mencegah atau mengobati Covid-19. Dr Erin Michos dari Johns Hopkins School of Medicine mengatakan sulit untuk mengetahui apakah kadar vitamin D yang rendah dapat menyebabkan orang tersebut rentan terinfeksi Covid-19 atau tidak.
"Ini mungkin hanya menjadi penanda kesehatan yang buruk dan bukan sesuatu yang dapat diintervensi untuk mencegah Covid-19," sambung Michos yang sudah 15 tahun memelajari vitamin D.
Baca Juga: Penting menjaga imunitas di masa pandemi, begini saran para bankir
Vitamin D tidak benar-benar mengobati Covid-19
Penelitian tentang penggunaan vitamin D sebagai terapi pada orang yang terinfeksi virus corona menghasilkan data yang sedikit lebih berkualitas. Namun, hasilnya tidak konsisten.
Bukti paling nyata berasal dari uji coba terkontrol secara acak dengan menggunakan plasebo di Brasil. Dalam uji coba tersebut, dokter memberikan satu dosis besar vitamin D kepada pasien Covid-19 yang dirawat.
Hasilnya, vitamin D tidak secara signifikan mengurangi durasi rawat inap pasien di rumah sakit ketimbang pasien dalam kelompok plasebo. Penyebabnya adalah pasien baru memeroleh asupan vitamin D setelah terkena Covid-19, dan vitamin D dalam dosis besar hanya diberikan sekali.
Sementara itu, dosis vitamin D yang diberikan kepada tubuh secara bertahap dan sering agaknya bekerja lebih baik untuk melindungi sistem kekebalan, kata Meltzer.