kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Membatasi makan dan olahraga bukan rumus ajaib langsing


Senin, 22 Januari 2018 / 21:36 WIB
Membatasi makan dan olahraga bukan rumus ajaib langsing
ILUSTRASI. Ilustrasi kesehatan perempuan - obesitas


Reporter: kompas.com | Editor: Dessy Rosalina

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anda mungkin sudah hafal "rumus" untuk mengurangi berat badan, yakni mengurangi makan dan menambah porsi olahraga. Secara teori, hal itu masuk akal.

Tak hanya secara teori, sains juga membuktikan bahwa membakar kalori lebih banyak dari yang kita konsumsi bisa berdampak pada turunnya berat badan.

Tetapi, masalahnya, penurunan berat badan ini kadang hanya memberi hasil sementara. Untuk jangka panjang, usaha ini kurang memberi hasil memuaskan.

Lantas, bagaimana cara menurunkan berat badan yang tepat? Beberapa pakar obesitas mengatakan, berhentilah menghitung kalori.

"Secara intuisi, kita tahu bahwa mengurangi makan dan menambah olahraga tidak berpengaruh. Ini seperti, 'Aku kerja, lalu aku dan rekan kerjaku akan dipecat'," kata pakar pencegahan obesitas dari rumah sakit anak Boston, Dr David Ludwig, seperti dikutip Time.com.

"Fakta yang kurang menyenangkan adalah ada sejumlah orang yang bisa menurunkan berat badan lewat cara itu sehingga tetap melakukannya."

Menurut Ludwig dan Dr Mark L Friedman dari The Nutrition Science Initiative di San Diego, pola pikir membatasi kalori tersebut mengabaikan penelitian selama puluhan tahun mengenai faktor biologis yang mengendalikan berat badan.

Kegemukan bukan cuma faktor genetik. Ludwig dan Friendman berpendapat kita harus berhenti melihat berat badan sebagai sesuatu yang terpisah dari fungsi biologis tubuh, seperti hormon dan rasa lapar, serta efek dari makanan yang kita makan.

Dengan kata lain, kegemukan tak hanya soal seberapa banyak yang kita makan.

Lalu, apa yang menyebabkan wabah obesitas? Jawabannya adalah karbohidrat olahan.  Misalnya, gula dan biji-bijian yang diproses, seperti nasi putih, roti, yang dapat ditemukan di banyak konsep diet.

Selama ini kita menghabiskan banyak waktu untuk "menangkap" lemak sebagai pemicu kegemukan. 

"Kita harus melupakan paradigma 'rendah lemak'. Beberapa makanan dengan lemak tinggi, seperti alpukat, kacang-kacangan, dan minyak zaitun, merupakan makanan sehat yang bisa kita makan," kata Ludwig.

Karbohidrat olahan menyebabkan peningkatan insulin. Sederhananya, saat kita makan banyak karbohidrat olahan, misalnya sebungkus biskuit, dalam tubuh kadar insulin melonjak dan akan memicu sel lemak untuk menyerap kalori. Tapi, tidak ada kalori dan gizi yang cukup dalam biskuit itu untuk menyediakan energi yang dibutuhkan tubuh.

Otak kita kemudian mengirim sinyal rasa lapar untuk merespons hal tersebut yang akhirnya juga memperlambat metabolisme tubuh sehingga kemudian membuat kita ingin lebih banyak makan.

Menurutnya, daripada menghitung kalori, lebih baik fokus pada kualitas makanan yang dikonsumsi.

"Kalau kita hanya mencoba makan lebih sedikit dan lebih banyak olahraga, kita tak akan mencapai tujuan," kata Ludwig.

Hanya fokus pada kalori akan menyesatkan dan berpotensi membahayakan tubuh karena kita mengabaikan bagaimana jumlah kalori berdampak pada hormon dan metabolisme. Kita pun jadinya sulit menjalankan pola makan yang sehat.

Artikel ini tayang di Kompas.com berjudul Membatasi Makan dan Olahraga Bukan Jawaban untuk Langsing 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×