Reporter: SS. Kurniawan | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan kasus penyakit virus Marburg, yang sangat menular juga mematikan, di Guinea, Afrika. Ini merupakan kasus yang pertama sejak 2017.
Pasien yang terjangkit virus Marburg adalah seorang pria yang meninggal pada 2 Agustus lalu, delapan hari setelah timbul gejala. Desa tempat dia tinggal berada di dekat perbatasan Guinea dengan Sierra Leone dan Liberia.
Melansir laman UN News, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, Kementerian Kesehatan Guinea melaporkan kasus tersebut ke organisasinya pada Jumat (6/8) pekan lalu.
Mengutip laman resmi WHO, penyakit virus Marburg adalah penyakit yang sangat virulen, rawan epidemi yang terkait dengan tingkat kematian kasus yang tinggi, hingga 88%.
Penyakit virus Marburg sebelumnya dikenal sebagai demam berdarah Marburg. Virus Marburg, yang namanya diambil dari kota di Jerman, menyebabkan demam berdarah yang parah pada manusia.
Baca Juga: Virus Marburg yang mematikan muncul lagi, WHO siapkan rencana kesiapsiagaan
Asal usul virus Marburg
Penyakit ini pertama kali terdeteksi pada 1967 silam, menyusul dua wabah besar secara bersamaan di laboratorium di Kota Marburg, Jerman, dan di Beograd, ibu kota Yugoslavia saat itu.
"Wabah tersebut terkait dengan pekerjaan laboratorium menggunakan monyet hijau Afrika (Cercopithecus aethiops) yang diimpor dari Uganda," kata WHO.
Selanjutnya, wabah dan kasus sporadis dilaporkan terjadi di Angola, Republik Demokratik Kongo, Kenya, Afrika Selatan, dan Uganda.
Pada awal perjalanannya, diagnosis klinis penyakit virus Marburg yang sangat menular sulit dibedakan dari penyakit demam tropis lainnya, karena kesamaan gejala.
Penyakit virus Marburg ditularkan melalui kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, dan/atau jaringan orang yang terinfeksi atawa hewan liar, misalnya, monyet dan kelelawar buah.
Baca Juga: Bukan corona, berikut 10 virus paling mematikan di Bumi
Rousettus aegyptiacus, kelelawar buah dari keluarga Pteropodidae, dianggap sebagai inang alami virus Marburg. Virus ini ditularkan ke manusia dari kelelawar buah dan menyebar di antara manusia melalui penularan dari manusia ke manusia.
"Saat ini, tidak ada terapi atau obat khusus yang disetujui untuk penyakit virus Marburg," ujar WHO.
Meski begitu, perawatan suportif, termasuk pemantauan ketat tanda-tanda vital, resusitasi cairan, pemantauan elektrolit dan asam basa bersama dengan pengelolaan koinfeksi serta disfungsi organ, merupakan komponen penting dari perawatan dan mengoptimalkan hasil juga kelangsungan hidup pasien.
Virus Marburg satu keluarga dengan Ebola. Keduanya anggota keluarga Filoviridae (filovirus). Meskipun disebabkan oleh virus yang berbeda, kedua penyakit ini secara klinis serupa.
"Penyakit virus Marburg dan Ebola jarang terjadi tapi memiliki kapasitas untuk menyebabkan wabah dengan tingkat kematian yang tinggi," ungkap WHO.
Baca Juga: WHO: Hanya butuh 6 bulan, kasus COVID-19 global bertambah 100 juta
Penularan virus Marburg
Virus Marburg menyebar melalui penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung (lewat kulit yang terluka atau selaput lendir) dengan darah, sekresi, organ atau cairan tubuh lainnya dari orang yang terinfeksi.
Lalu, kontak langsung dengan permukaan dan bahan, misalnya tempat tidur dan pakaian, yang terkontaminasi dengan cairan tubuh dari orang yang terinfeksi virus Marburg.
Petugas kesehatan sering terinfeksi saat merawat pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi menderita penyakit virus Marburg. Ini terjadi melalui kontak dekat dengan pasien ketika tindakan pencegahan pengendalian infeksi tidak dilakukan secara ketat.
Penularan melalui peralatan injeksi yang terkontaminasi atau melalui luka tusukan jarum dikaitkan dengan penyakit yang lebih parah, kerusakan yang cepat, dan, mungkin, tingkat kematian yang lebih tinggi.
Upacara pemakaman yang melibatkan kontak langsung dengan jenazah pasien penyakit virus Marburg juga bisa berkontribusi dalam transmisi virus Marburg. "Orang tetap menular selama darah mereka mengandung virus," imbuh WHO.
Baca Juga: Termasuk di Indonesia, WHO uji tiga obat baru untuk pasien COVID-19 parah
Gejala penyakit virus Marburg
WHO mengatakan, masa inkubasi atau interval dari infeksi hingga timbulnya gejala bervariasi, mulai 2 sampai 21 hari.
Gejala penyakit yang disebabkan oleh virus Marburg muncul secara tiba-tiba, dengan demam tinggi, sakit kepala parah, dan malaise parah. Nyeri otot dan nyeri adalah ciri umum.
Diare yang parah, sakit perut dan kram, mual dan muntah bisa dimulai pada hari ketiga. Diare bisa bertahan selama seminggu.
"Pasien pada fase ini digambarkan “seperti hantu”, mata cekung, wajah tanpa ekspresi, dan kelesuan yang ekstrem," ungkap WHO.
Dalam wabah di Eropa tahun 1967, ruam yang tidak gatal adalah ciri yang dicatat pada kebanyakan pasien antara 2 dan 7 hari setelah timbulnya gejala.
Baca Juga: AS rekomendasikan wanita hamil untuk segera divaksin Covid-19
Banyak pasien mengalami manifestasi perdarahan yang parah antara 5 dan 7 hari, dan kasus yang fatal biasanya memiliki beberapa bentuk perdarahan, seringkali dari beberapa area.
Darah segar pada muntahan dan feses seringkali disertai dengan pendarahan dari hidung, gusi, dan vagina. Pendarahan spontan di tempat tusukan vena (di mana akses intravena diperoleh untuk memberikan cairan atau mengambil sampel darah) bisa sangat merepotkan.
Selama fase penyakit yang parah, pasien mengalami demam tinggi. Keterlibatan sistem saraf pusat bisa mengakibatkan kebingungan, lekas marah, dan agresi.
Orkitis atau peradangan pada salah satu atau kedua testis kadang-kadang dilaporkan pada fase akhir penyakit atau di hari ke-15 setelah gejala pertama muncul.
"Dalam kasus yang fatal, kematian paling sering terjadi antara 8 dan 9 hari setelah timbulnya gejala, biasanya didahului dengan kehilangan darah yang parah dan syok," kata WHO.
Selanjutnya: Ini kata WHO soal sertifikat vaksin Covid-19 jadi syarat beraktivitas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News