kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.896.000   16.000   0,85%
  • USD/IDR 16.220   -29,00   -0,18%
  • IDX 6.915   -12,32   -0,18%
  • KOMPAS100 1.007   -0,64   -0,06%
  • LQ45 771   -2,07   -0,27%
  • ISSI 227   0,47   0,21%
  • IDX30 397   -1,97   -0,49%
  • IDXHIDIV20 459   -2,95   -0,64%
  • IDX80 113   -0,11   -0,10%
  • IDXV30 114   -0,70   -0,61%
  • IDXQ30 128   -0,64   -0,49%

Ilmuwan sebut Covid-19 bukan lagi pandemi, melainkan sindemi


Jumat, 13 November 2020 / 04:17 WIB
Ilmuwan sebut Covid-19 bukan lagi pandemi, melainkan sindemi
ILUSTRASI. Melihat kondisi Covid-19 saat ini, ilmuwan menilai semestinya bukan dianggap pandemi, melainkan sebagai sindemi.


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Penyebaran Covid-19 terus meluas sejak mewabah dari China akhir tahun 2019. Hingga akhirnya, secara resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya sebagai pandemi global. Namun, hampir setahun pandemi Covid-19 ini berlangsung, jumlah orang yang terinfeksi di seluruh dunia sudah mencapai angka 50 juta. 

Bahkan, hingga kini lebih dari selusin kandidat vaksin Covid-19 masih dalam tahap pengujian, beberapa telah hampir menyelesaikan fase 3 atau tahap akhir uji klinis. Semakin tingginya angka infeksi Covid-19, sejumlah negara juga kembali memberlakukan lockdown setelah mencatat rekor penambahan jumlah kasus. 

Kendati berbagai strategi dan kebijakan telah dilakukan, sejumlah ilmuwan dan pakar kesehatan menilai hal itu masih terlalu terbatas untuk menghentikan laju infeksi yang disebabkan virus corona baru, SARS-CoV-2.

"Semua intervensi kita berfokus pada memotong jalur penularan virus untuk mengendalikan penyebaran patogen," kata Richard Horton, pemimpin redaksi jurnal ilmiah The Lancet, seperti dikutip BBC, Kamis (12/11/2020). 

Baca Juga: Kasus impor melonjak, risiko penularan lokal virus corona di China meningkat

Melihat kondisi Covid-19 saat ini, Horton menilai semestinya bukan dianggap sebagai pandemi, melainkan sebagai " sindemi". Lantas, apa itu sindemi dan bagaimana seharusnya penanganan Covid-19 dilakukan? 

Sindemi adalah akronim yang berasal dari kata sinergi dan pandemi. Artinya, penyakit seperti Covid-19 tidak boleh berdiri sendiri. Di satu sisi ada virus SARS-CoV-2, yaitu virus penyebab Covid-19 dan disi lain ada serangkaian penyakit yang sudah diidap oleh seseorang. Kedua elemen ini saling berinteraksi dalam konteks ketimpangan sosial yang mendalam. 

Baca Juga: Jubir Satgas Covid-19 sebut banyak yang harus dipertimbangkan terkait vaksin pfizer

Mengingat pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada awal tahun 2020, yang mengatakan bahwa dampak pandemi Covid-19 dialami secara tidak proporsional pada kelompok masyarakat paling rentan. Di antaranya orang yang hidup dalam kemiskinan, pekerja miskin, perempuan dan anak-anak, serta penyandang disabilitas dan kelompok marjinal lainnya. 

Sindemi bukanlah istilah baru dan telah muncul sekitar tahun 1990-an yang diciptakan oleh antropolog medis asal Amerika Serikat, Merill Singer.

Istilah ini dicetuskannya untuk menyebut kondisi ketika dua penyakit atau lebih berinteraksi sedemikian rupa, sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih besar ketimbang dampak dari masing-masing penyakit tersebut. 

Baca Juga: Inggris jadi negara ke-5 dunia dengan angka kematian Covid-19 tembus 50.000

"Dampak dari interaksi ini juga difasilitasi oleh kondisi sosial dan lingkungan yang entah bagaimana dapat menyatukan kedua penyakit atau membuat populasi menjadi lebih rentan terhadap dampaknya," jelas Singer. 

Istilah sindemi muncul saat ilmuwan tersebut bersama koleganya meneliti penggunaan narkoba di komunitas berpenghasilan rendah di Amerika Serikat pada lebih dari dua dekade lalu. Singer dan timnya menemukan bahwa banyak dari masyarakat itu yang menggunakan narkoba menderita sejumlah penyakit seperti TBC dan penyakit menular seksual. 

Baca Juga: Bisa cegah virus corona, berikut 10 Indikator perilaku hidup bersih dan sehat

Selanjutnya para peneliti mempertanyakan bagaimana penyakit-penyakit ini dapat berada di dalam tubuh seseorang. Kesimpulannya, dalam beberapa kasus, kombinasi penyakit memperkuat dampak dan kerusakan yang dialami orang itu. 

"Kami melihat bagaimana Covid-19 berinteraksi dengan berbagai kondisi yang sudah ada sebelumnya, diabetes, kanker, masalah jantung dan banyak faktor lain," kata Singer. 

Strategi epidemiologi hadapi Covid-19 Bahkan tak hanya itu, mereka juga melihat adanya tingkat yang tidak proporsional dari dampak yang merugikan di komunitas masyarakat miskin, berpenghasilan rendah dan etnis minoritas. 

Pengaruh lingkungan sosial ekonomi

Pengaruh lingkungan sosial ekonomi juga menjadi faktor yang dapat meningkatkan risiko Covid-19. Menurut Tiff-Annie Kenny, peneliti di Laval University di Kanada mengatakan penyakit seperti diabetes atau obesitas, yang termasuk faktor risiko Covid-19 tersebut lebih sering dialami pada orang-orang berpenghasilan rendah. 

Di tengah kondisi wilayah dengan kerawanan pangan, perubahan iklim hingga pengaturan perumahan yang buruk, akan semakin sulit untuk menjalankan rekomendasi kesehatan seperti mencuci tangan atau menjaga jarak. 

Tak selalu akses kesehatan yang terbatas, makanan, pendidikan atau kebersihan, maupun penyakit lain dapat memperparah penyakit bawaan memengaruhi kondisi sosial ekonomi terkait dampak dari suatu penyakit. 

Baca Juga: Jumlah pasien Covid-19 melonjak, Turki larang warganya merokok di tempat umum

"Ada bukti berkembang bahwa influenza dan flu biasa adalah 'kontra-sindemi'. Artinya, situasinya tidak menjadi lebih buruk, jika seseorang terinfeksi kedua (virus), salah satu (dari penyakit itu) tidak berkembang," jelas Kenny. 

Oleh sebab itu, dengan menganalisis situasi menggunakan pendekatan sindemi, Tiff-Annie Kenny menjelaskan perlunya beralih dari pendekatan epidemiologi klasik mengenai risiko penularan Covid-19 dengan pendekatan dalam konteks sosial. 

Cara pandang ini banyak dilakukan para ahli yang meyakini bahwa itu dapat memperlambat laju penularan dan dampak Covid-19. "Jika kita benar-benar ingin mengakhiri pandemi ini yang efeknya telah menghancurkan masyarakat, kesehatan, ekonomi. Pelajarannya, kita harus mengatasi kondisi mendasar yang memungkinkan terjadinya sindemi," jelas Singer. 

Baca Juga: Waspada, pandemi virus corona bisa memperparah OCD pada anak-anak dan remaja

Singer menambahkan perlunya mengatasi faktor struktural yang mempersulit masyarakat miskin untuk mengakses layanan kesehatan atau makan makanan yang memadai. Singer juga meyakini perubahan strategi diperlukan untuk menghadapi pandemi di masa depan. 

Sebab, menurutnya ancaman ini akan terus ada selama kita masih terus melampaui batas habitat-habitat satwa liar, atau sebagai akibat dari perubahan iklim dan deforestasi. Horton juga mendukung pandangan tersebut. Sebab, seberapa efektif pengobatan atau seberapa protektif vaksin Covid-19 yang tengah dikembangkan, pencarian solusi yang murni biomedis akan gagal mengatasi pandemi Covid-19. 

"Kecuali pemerintah merancang kebijakan dan program untuk mengubah kesenjangan mendalam, masyarakat tidak akan pernah benar-benar aman dari penyakit ini," jelas Horton.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ilmuwan Sebut Covid-19 Bukan Lagi Pandemi, tetapi Sindemi, Apa Itu?"

Selanjutnya: Kasus virus corona terus bertambah, ini 5 cara memakai masker yang benar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×