Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingginya prevalensi merokok di Indonesia disebabkan oleh strategi yang dijalankan pemerintah sampai saat ini belum tepat sasaran. Pemerintah disarankan untuk mengedepankan strategi baru dengan memaksimalkan produk tembakau alternatif.
Guru Besar Universitas Sahid Jakarta Profesor Kholil menjelaskan, berdasarkan hasil kajian terhadap 930 responden yang melibatkan sejumlah akademisi, dokter, tenaga kesehatan, perokok, dan pengguna produk tembakau alternatif, sebanyak 46% ingin berhenti merokok.
Alasan utamanya adalah masalah kesehatan, yakni dengan persentase 54%. “Konsumsi rokok akan terus meningkat. Jumlah perokok kita sekitar 66 juta jiwa, ketiga terbesar di dunia setelah China dan India,” kata Kholil dalam keterangannya, Senin (10/5).
Baca Juga: Jacek Olczak, CEO baru Philip Morris dan ambisinya pada produk bebas asap
Dengan tingginya angka perokok, Kholil meneruskan, potensi terpapar penyakit akibat rokok semakin besar. Hal tersebut akan membebani pemerintah karena anggaran biaya kesehatan akan membengkak.
“Kalau 10% dari 66 juta perokok itu mengidap kanker, penyakit paru-paru dan membutuhkan biaya Rp 10 juta sampai sembuh, berarti ada Rp 66 triliun yang digunakan. Ini pastinya akan menggerus dana BPJS,” ungkap Kholil.
Untuk itu diperlukan adanya upaya pengurangan konsumsi maupun risiko dari rokok. Salah satunya melalui produk tembakau alternatif seperti produk tembakau dipanaskan, rokok elektrik, dan snus.