Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Saat pandemi virus corona menyebar di dunia, beredar informasi bahwa virus mematikan ini akan menghilang saat musim panas. Tapi faktanya tidak begitu. Hingga saat ini, beberapa negara terpanas di dunia - Brasil dan Arab Saudi, misalnya - mencatatkan wabah virus corona terbesar.
Melansir Jerusalem Post, banyak penyakit menular bersifat musiman. Sehingga, cukup masuk akal untuk berharap bahwa virus corona baru juga akan demikian. Tetapi seiring berjalannya musim panas, sinar matahari menjadi cerah dan cuaca hangat hanya berdampak kecil pada potensi menghilangnya penyakit ini.
“Ada harapan virus corona akan menghilang di musim panas karena beberapa virus sensitif iklim dan, setidaknya pada awalnya, tampaknya penyebaran virus juga lebih sedikit di negara-negara yang beriklim sedang,” kata Prof Chaim Putterman, dekan untuk penelitian dan direktur institut penelitian Pusat Medis Galilea di Fakultas Kedokteran Azrieli di Universitas Bar-Ilan.
Baca Juga: Inilah situs untuk mengenal lebih lanjut tentang vaksin corona pertama di dunia
Harapan dan doanya adalah di musim panas, iklim yang lebih hangat akan melemahkan penyebaran corona. Sayangnya, itu tidak terjadi.
Flu adalah contoh penyakit musiman. Wabah meningkat pada musim gugur dan lonjakan di musim dingin. Wabah polio yang paling parah, ketika masih menjadi penyakit umum, terjadi pada musim panas.
Baca Juga: Meksiko akan menguji coba vaksin virus corona yang dikembangkan China dan AS
Tantangannya, menurut Ran Nir-Paz, seorang dokter senior di departemen mikrobiologi klinis dan penyakit menular dari Hadassah-University Medical Center, adalah bahwa virus corona merupakan virus baru. Oleh karena itu, hanya sedikit yang diketahui tentang virus ini. "Itu sebabnya, kami tidak dapat membuat asumsi," jelas Ran Nir-Paz kepada Jerusalem Post.
Nir-Paz mengatakan asumsi musiman itu jauh dari kenyataan. Sebaliknya, ada pemahaman bahwa ketika orang berada di luar, mereka cenderung tidak tertular virus corona. Ini lebih berkaitan dengan fakta bahwa, dengan udara segar dan lebih banyak ruang di antara orang-orang, risiko infeksi menurun.
Baca Juga: Jokowi: Januari 2021, kita sudah bisa memproduksi vaksin corona
Penelitian telah menunjukkan bahwa virus corona lewat dalam tetesan kecil yang disebut aerosol, yang melayang di udara dan menumpuk seiring waktu. Di luar, udara lebih banyak bergerak.
"Penggantian udaranya sangat besar," kata Nir-Paz. “Di luar ada banyak (pergerakan); di dalam, hanya ada sedikit,” paparnya.
Lalu bagaimana dengan hipotesis bahwa matahari membunuh Covid-19?
Baca Juga: Rusia umumkan vaksin corona pertama di dunia, ini tanggapan WHO
Beberapa ilmuwan sedang mempelajari apakah sinar ultraviolet dari matahari menghancurkan virus corona. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Infectious Diseases menemukan bahwa 90% dari virus corona yang menular tidak aktif dalam waktu kurang dari 20 menit ketika terpapar sinar matahari yang disimulasikan mewakili titik balik matahari musim panas di garis lintang utara 40° di permukaan laut pada hari yang cerah.
Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan hasil ini, dan jumlah sinar ultraviolet yang mencapai permukaan bumi tidak konstan dan karenanya tidak dapat diandalkan.
Putterman menekankan bahwa hanya berada di luar tidak cukup untuk memastikan keselamatan seseorang dari virus corona.
Dia mengatakan, virus corona menyebar dalam kerumunan besar - bahkan jika itu musim panas dan bahkan jika berada di luar ruangan.
“Kepadatan massa adalah faktor terpenting,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News