kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Epidemiolog: Vaksinasi dosis ketiga baiknya diprioritaskan pada lansia dan nakes


Kamis, 26 Agustus 2021 / 11:30 WIB
Epidemiolog: Vaksinasi dosis ketiga baiknya diprioritaskan pada lansia dan nakes


Reporter: Amanda Christabel | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam upaya meredam laju penambahan angka kasus positif Covid-19, pemerintah mulai melakukan pemberian vaksinasi dosis ketiga yang disebut sebagai booster. Pemberian vaksin dosis ketiga ini ditujukan memperpanjang efektivitas dari vaksin itu sendiri.

Epidemiolog dari Griffith University di Australia, Dicky Budiman mengatakan bahwa vaksin dosis ketiga ini harus disikapi dengan berbasis sains. Dirinya bilang bahwa dosis ketiga ini memang akan diperlukan pada saat ini.

“Akan tetapi, sebagaimana strategi vaksin pada umumnya, harus diprioritaskan pada kelompok rawan. Kelompok ini adalah tenaga kesehatan, dan lansia yang memiliki komorbid atau orang dengan penurunan daya tahan tubuh. Prinsip pemberian vaksinasi ini harus ditargetkan mencapai cakupan yang dituju,” ujar Dicky kepada KONTAN, Rabu (25/8).

Di tengah keterbatasan vaksin yang ada saat ini, Dicky bilang harus selesaikan dulu target vaksinasinya. “Jika bicara booster, di luar yang esensial seperti tenaga kesehatan atau beberapa kelompok komorbid dan lansia, itu masih belum memiliki dasar yang kuat. Hal ini karena kalau dilihat dari asas manfaatnya, potensi untuk mengurangi kematian tidak terjadi,” paparnya.

Baca Juga: Ada pejabat dapat vaksin booster, PKS: Pak Jokowi harus tegaskan aturan

Bahkan, menurut Dicky, jika pemberian vaksinasi di luar kelompok esensial maka yang terjadi justru angka kasusnya bisa meningkat. Sehingga harus berhati-hati di tengah vaksinasi yang terbatas. Di samping itu, pemberian vaksin dosis ketiga ini pun juga harus melihat data terkait yang saat ini masih belum 6 atau 9 bulan vaksinasi dan telah menurun proteksinya.

“Jangan sampai malah timbul dampak yang lain dan merugikan. Terutama dalam masalah cakupan vaksinasi kita yang masih jauh dari yang diharapkan,” tambah Dicky.

Di banyak negara seperti di negara maju dan sebagian negara berkembang lainnya, penetapan prioritas ini selalu menjadi dilema. Hal ini karena ada yang menganggap bahwa yang berhadapan langsung dengan komunitas pelayanan publik, seperti pelaku penjual di pasar, mall, dan lain sebagainya itu penting karena menyangkut dengan layanan publik dan berisiko tinggi.

“Di sisi lain, lansia juga prioritas dan ini menjadi dilema. Oleh karena itu, ketika hal ini terjadi, sebenarnya dalam sains sudah bisa memprediksi. Maka dari itu, modelling prediksi itu sangat bermanfaat dalam melihat hal ini. Sebagaimana halnya seperti uji di laboratorium. Tentu yang harus dilihat adalah pengendalian dari Covid-19,” ujarnya.

Selain menurunkan tingkat penularan, hal yang terutama adalah harus menyelamatkan nyawa. Diikuti dengan menyelamatkan juga orang-orang supaya tidak masuk rumah sakit, dan membebani fasilitas kesehatan.

Baca Juga: UPDATE vaksinasi Covid-19 per 25 Agustus: Ada penambahan vaksinasi 996.030 dosis

Dari semua modelling dan opsi itu, yang paling dominan bisa menurunkan kematian, kapasitas rumah sakit atau faskes adalah jika vaksinasi memprioritaskan lansia. “Karena dari berbagai studi dan permodelan, semuanya membuktikan bahwa faktor usia itu menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam terjadinya perburukan dari pandemi,” tambahnya.

Dicky menjelaskan bahwa hal ini harus bertumpu pada sains, karena sudah memberikan jawaban serta permodelan yang terbukti benar. Dicky juga bilang, dari semua pemodelan dan skenario itu, di seluruh negara maju, berkembang, bahkan miskin sudah ada studinya.

“Harvard pernah melakukan studi itu. Semua sama hasilnya, memprioritaskan usia di atas 60 tahun, dan itu paling signifikan menyelamatkan banyak nyawa. Karena usia adalah predictor paling kuat untuk melihat, menghitung, dan mengukur kerawanan atau risiko. Ini yang akhirnya terbukti. Apalagi kalau lansianya memiliki komorbid, inilah yang semakin meningkatkan risiko kerawanannya,” ujar Dicky.

Itulah sebabnya, Dicky menegaskan, memprioritaskan lansia menjadi sangat penting dan keberpihakan kepada target juga harus terlihat bukan hanya dalam perencanaan, tapi juga dalam narasi pemerintah, dan dalam aksi yang nyata dari pemerintah.

“Bisa kita prediksi kematian yang besar dari pasien isoman dan di masyarakat itu adalah lansia. Setidaknya usia di atas 50 tahun itu banyak sekali. Oleh karena itu, sekali lagi kita harus meluruskan fokus strategi ini, dan ini semua semata berbasis sains. Tidak bisa kalau hanya mengandalkan analisa yang sifatnya berbasis kepentingan ekonomi dan sosial,” pungkasnya.

Ketika vaksinasi ini ditargetkan mencakup pada golongan di atas 60 tahun itu bisa menurunkan angka kematian sampai 23%. Angka ini, untuk populasi sebesar Indonesia, sama dengan puluhan ribu orang yang bisa diselamatkan dalam kurun waktu sekitar 10-12 minggu.

Dicky juga bilang, kematian bukan hanya masalah hilangnya nyawa begitu saja. Namun, akan ada dari sekian orang yang terenggut nyawanya itu mungkin menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

“Inilah dampak ikutan yang banyak sekali, baik secara sosial dan ekonomi. Jadi, bicara kematian itu bicara dampak masa kini dan masa depan. Sekali lagi, ketika ini tidak bisa kita hindari, kematian yang terus tinggi akan menurunkan tingkat kepercayaan, rasa aman, rasa nyaman. Sehingga timbul dampak kepanikan, yang tentu kontraproduktif dengan upaya pengendalian,” tutupnya.

#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #jagajarakhindarikerumunan #cucitangan #cucitanganpakaisabun

Selanjutnya: UPDATE Corona Indonesia, per 25 Agustus: Tambah 18.671 kasus baru, jangan lupa masker

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×