kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dirut RS Kanker Dharmais: Pengobatan kanker di Indonesia berkembang lebih baik


Senin, 03 Februari 2020 / 19:03 WIB
Dirut RS Kanker Dharmais: Pengobatan kanker di Indonesia berkembang lebih baik


Reporter: Amalia Fitri | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Utama RS Kanker Dharmais Jakarta Abdul Kadir menjelaskan saat ini fasilitas pengobatan kanker di Indonesia lebih baik dibandingkan sebelumnya. Sebagai contoh, ia menyebut jumlah mesin radioterapi di Indonesia saat ini sudah berjumlah 68 unit dari 28 unit bila dibandingkan beberapa tahun belakangan.

"Mesin radioterapi ini memang mayoritas masih dimiliki oleh rumah sakit di Pulau Jawa. Namun saat ini melalui persebaran rumah sakit vertikal, pelayanan pengobatan kanker bisa mencakup pasien di daerah kabupaten. Yang terpenting memang penyediaan mesin radioterapi yang prima," jelas Abdul Kadir, yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Rumah Sakit Vertikal Indonesia (ARVI), asosiasi yang juga bernaung dalam Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Senin (3/2).

Baca Juga: Eka Hospital bakal tambah jaringan rumah sakit di tahun ini

Ia melanjutkan, saat ini penanganan kanker di Indonesia masih belum menjamah daerah-daerah tertentu, dan masih berpusat di rumah sakit di wilayah Jakarta dan rumah sakit provinsi lainnya.

Untuk itu, pihaknya berpendapat perlu adanya sistem rujukan dimana rumah sakit kanker bisa mendekatkan akses pelayanan kanker pada masyarakat.

Selain mesin radiologi, komponen penting yang harus tersedia dalam fasilitas pengobatan kanker adalah obat-obatan kemoterapi dan imunoterapi. Saat ini, menurut Abdul, obat-obatan kanker masih disokong secara impor walau Pemerintah juga berusaha menyediakan ruang bagi para investor asing membangun pabrik dan memproduksi obat kemoterapi di Indonesia.

"Usaha lainnya juga terlihat dari peraturan berbisnis terbaru, dimana investor asing bisa mendirikan rumah sakit dan memiliki sahamnya sebesar 65% sampai 70%. Dahulu, investor asing maksimal hanya bisa memiliki saham sebesar 45%saja," ungkapnya pada Kontan.co.id.

Baca Juga: Eka Hospital masih kaji penanganan pasien kanker di rumah sakitnya

Keberadaan investor asing, mau tak mau dianggap sebagai oase karena pengadaan fasilitas pengobatan kanker yang mumpuni sangatlah mahal. Bahkan, dalam kasus tertentu bisa menjadi "pos rugi".

Abdul berkata, untuk pengadaan satu mesin radioterapi, per unitnya dibanderol minimal Rp 55 miliar sampai Rp 60 miliar. Nilai tersebut belum mencakup regimen kemoterapi, alat operasi, hingga imunoterapi.

Tak hanya bagi penyelenggara, pasien bahkan disebut bisa jatuh miskin dalam perjuangannya mengobati kanker.

Dalam pengobatannya, penanganan kanker ditentukan dari jenis stadiumnya. Biasanya, pasien dengan stadium kanker 3 dan 4, harus melalui tindakan operasi yang menelan biaya minimal Rp 60 juta sampai Rp 70 juta.

Baca Juga: Pengobatan kanker menjadi salah satu manfaat dalam program JKN-KIS

Setelahnya, pasien akan dihadapkan dengan kemoterapi yang terdiri dari enam regimen atau siklus. Satu siklus, jelas Abdul, kurang lebih membutuhkan biaya sebesar Rp20 juta. Jika dikalikan sampai enam kali, maka pasien membutuhkan dana Rp120 juta.




TERBARU

[X]
×