Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
“Dari penelitian tersebut, kemungkinan bukan nikotin yang mempersempit pembuluh darah pada gusi dan menutupi tanda klinis peradangan yang normal, akan tetapi TAR atau kandungan lain dari rokok,” ujarnya.
Dia mempresentasikan risetnya di forum nasional dan internasional. Terakhir, dia hadir di konferensi pengurangan bahaya tembakau di Warsawa, Polandia pada 2023. Keaktifannya mengikuti konferensi membuatnya terpapar pada banyak riset.
Dari pengalaman mengikuti konferensi, Amaliya tahu bahwa bukti dampak penggunaan produk tembakau alternatif untuk pengurangan bahaya tembakau sebenarnya sudah solid. Publikasi ilmiah tentang produk tersebut bukan hanya bersifat preliminary atau riset tahap awal dengan responden terbatas, melainkan sudah sampai tingkat systematic review alias riset yang dilakukan dengan menganalisis secara sistematis bukti-bukti yang didapatkan dari puluhan riset dengan tema yang sama.
Sains sebagai Jalan Tengah
Amaliya mengakui, jalan terbaik untuk kesehatan publik memang tidak mengonsumsi tembakau sama sekali. Namun ia menuturkan, bukti-bukti ilmiah seharusnya bisa mendorong jalan tengah, khususnya bagi para perokok yang sulit atau tidak ingin berhenti, agar tetap bisa mengurangi dampak negatif bagi dirinya maupun sekitarnya.
“Idealnya memang tidak merokok,” tegasnya. “Tetapi walaupun sudah mengetahui risikonya, para perokok nyatanya tetap tidak berhenti. Kita harus memikirkan alternatif supaya mereka tidak meneruskan kebiasaan merokok yang sudah jelas menyebabkan bahaya dan dampak buruk terhadap tubuh, namun dengan beralih ke produk alternatif dengan profil risiko yang lebih rendah dibanding rokok.”
Baca Juga: 8 Makanan yang Tak Boleh Dikonsumsi Penderita Kanker Paru-Paru, Cek Gejalanya
Untuk itu, keterbukaan pemerintah untuk melihat bukti-bukti ilmiah tentang produk tembakau alternatif sangat diperlukan. Sejauh ini, telah diketahui bahwa produk tembakau alternatif memiliki paparan risiko senyawa kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya lebih rendah hingga 75-95 persen daripada rokok.
Dari sisi akademik, peneliti perlu bersikap terbuka. Menurutnya perlu ada dorongan terkait riset produk tembakau alternatif yang melibatkan berbagai pihak. Kolaborasi antar-universitas, pihak swasta, dan publik, termasuk para pengguna produk tembakau alternatif, diperlukan.
“Dari pengalaman saya, ada yang tadinya mempertanyakan soal produk tembakau alternatif, lama-lama mulai tertarik untuk ikut meneliti dan berkolaborasi,” pungkasnya. Hal itu bisa jadi pelajaran penting bahwa kolaborasi bisa menyamakan visi, serta mengikis sentimen dan bias dalam pengetahuan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News