Sumber: Kompas.com | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 yang terus menyebar mendatangkan rasa takut dan kecemasan. Selain menjaga kesehatan fisik, kita pun perlu mengelola kecemasan itu agar tidak memengaruhi kesehatan mental.
Para dokter di Amerika Serikat menyebutkan, walau belum ada angka pasti, tetapi ada kenaikan gangguan cemas dan depresi pada pasien, terutama pada mereka yang sebelumnya sudah memiliki gangguan cemas.
Baca Juga: Cegah corona, Kemenhub batasi proyek perkeretaapian yang libatkan banyak pekerja
Jenis kecemasan yang rentan dialami dalam kondisi tidak pasti seperti sekarang, yaitu obsessive-compulsive disorder (OCD), gangguan kecemasan umum, gangguan kecemasan sosial, serta gangguan kecemasan perpisahan.
Karena saat ini para pakar kesehatan menyarankan agar kita selalu menjaga jarak minimal satu meter dengan orang lain, jenis kecemasan perpisahan mungkin yang paling akan dirasakan karena merasa terisolasi. Gangguan kecemasan secara umum juga diperkirakan meningkat.
Ini wajar karena banyak orang yang merasa bingung dan stres karena keuangannya berantakan selama wabah, atau karena stres mengasuh anak di rumah. “Gangguan kecemasan selalu didasarkan pada dua kata: “Bagaimana Jika”, yang diikuti dengan skenario terburuk yang bisa dibuat oleh otak,” kata psikolog Patrick McGrath seperti dikutip oleh Time.com.
Menurut psikiater Lahargo Kembaren kepada Harian Kompas (28/3), rasa stres, bingung, cemas, dan panik, adalah reaksi psikologi wajar selama berlangsung krisis. ”Ketika kecemasan dan stres negatif terjadi berlebihan, mengganggu fungsi sehari-hari, dan menimbulkan penderitaan, itu indikasi munculnya gangguan cemas,” lanjutnya.
Baca Juga: Data kasus corona di 18 kecamatan di Kabupaten Bekasi, terbanyak di Tambun Selatan
Kecemasan yang berlebihan itu terjadi jika muncul sejumlah gejala fisik dan psikologis yang sebelumnya tidak ada pada tubuh kita.