Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Helfand mengatakan orang yang datang dengan gejala atipikal atau tidak biasa ini harus diskrining dan diuji atau dites Covid-19.
Dalam studi tersebut, pasien dengan delirium cenderung berusia di atas 75 tahun, baik tinggal di panti jompo atau fasilitas tempat tinggal bantuan. Atau di antara mereka pernah mengkonsumsi obat psikoaktif di masa lalu, memiliki penyakit parkinson dan memiliki masalah penglihatan atau pendengaran.
Seringkali, saat datang di IGD, kurang dari setengah pasien diskrining dan didiagnosis menggunakan Mteode Penilaian Kebingungan. Alat ini dikembangkan oleh Vanderbilt's Ely dan Sharon Inouye dari Harvard Medical School, yang juga menjadi salah satu penulis studi ini.
Ely mengungkapkan apabila lebih banyak pasien yang didiagnosis dengan beberapa versi alat deteksi delirium, mungkin akan lebih banyak kasus Covid-19 yang dapat terdeteksi.
Baca Juga: Cara merawat bayi agar aman dari penularan corona
"Jika Anda tidak menggunakan alat delirium, Anda kehilangan sekitar 75 persen dari (pasien Covid-19 dengan gejala) delirium. Tidak diragukan lagi bahwa angka yang mereka berikan lebih rendah dari angka delirium yang sebenarnya. Ini akan lebih besar dari itu," kata Ely.
Kendati demikian, para peneliti mengakui keterbatasan tersebut, sebab sebagian besar IGD rumah sakit tidak secara rutin menyaring pasien dengan delirium sebagai gejala baru Covid-19.
Penulis studi berharap studi delirium gejala Covid-19 ini dapat membantu tanda mengigau yang ditemukan pada pasien Covid-19 dapat diketahui dan diobati lebih awal.
"Menambahkan delirium sebagai gejala umum Covid-19 akan mencegah kasus-kasus penting terlewatkan dan memungkinkan identifikasi dan manajemen lebih awal dari pasien yang rentan berisiko tinggi untuk hasil yang buruk," tulis peneliti.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenal Delirium, Gejala Baru yang Dialami Pasien Covid-19"
Penulis : Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas
Editor : Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas
Selanjutnya: Peneliti Jepang temukan fakta: Virus corona bisa menyerang otak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News