Reporter: Jane Aprilyani, Lidya Yuniartha | Editor: Lidya Yuniartha
KONTAN.CO.ID - Cia (28) bingung saat merasakan benjolan yang sudah ada di payudaranya membesar. Ukuran benjolan tersebut terasa berbeda saat dia temukan dua tahun sebelumnya.
Saat pertama kali merasakan benjolan tersebut, Cia ini tak menyangka bahwa benjolan ini adalah hal serius. Mengingat dari informasi yang ia temukan di internet, tak semua benjolan di payudara berbahaya.
Begitu merasakan benjolan tersebut makin nyeri beberapa bulan kemudian, perempuan asal Surabaya yang saat itu baru berusia 26 tahun segera memeriksakan diri ke rumah sakit.
Usai melakukan rangkaian pemeriksaan, Cia harus menerima fakta bahwa hasil benjolan berdiameter 6 cm yang ditemukannya adalah kanker payudara. Bahkan, kanker yang dideritanya sudah stadium lanjut, atau stadium empat.
"Dalam aktivitas sehari-hari seperti orang biasa. Tapi, dari sisi medis lumayan parah, karenanya masuk stadium 4," ujar Cia.
Tak mau terpuruk dengan keadaan itu, Cia langsung mengikuti arahan dokter untuk segera melakukan pengobatan. Kemoterapi pun dia lakukan beberapa kali. Sejak didiagnosa mengidap kanker pada Juni 2023, setidaknya ia sudah menjalani 30 kali kemoterapi.
Meski merasakan takut, Cia berusaha agar bisa tetap bertahan dari kanker ini. Selain tetap menjalani kemoterapi, dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya menjadi hal yang membuatnya bertahan hingga kini.
Dukungan dari orang-orang terdekat memang dibutuhkan penderita kanker dalam menghadapi penyakit ini. Ini yang diungkapkan Chelsea (23), salah satu anak yang ibunya meninggal lantaran kanker beberapa tahun lalu.
Baca Juga: Perempuan Wajib Tahu Cara Mendeteksi Kanker Payudara Sejak Dini, Ini Caranya
Dia bercerita, saat dirinya masih berusia sekitar 8 tahun, ibunya divonis menderita kanker payudara. Pengobatan pun dilakukan agar sang ibu bisa bertahan. Beberapa tahun berikutnya, ibu Chelsea dinyatakan sembuh dari kanker payudara.
Sayangnya, sel kanker tersebut sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Selang beberapa tahun, ibu Chelsea divonis menderita kanker tulang. Ibu Chelsea meninggal setelah 11 tahun sejak kanker payudara ditemukan di tubuhnya.
Hal yang dialami ibu Chelsea mendorongnya serta saudara perempuannya untuk lebih hati-hati dan menerapkan gaya hidup sehat. Bukan hanya itu, pemeriksaan rutin pun dilakukannya secara berkala. Mulai dari melakukan Periksa Payudara Sendiri (SADARI) bahkan medical check up (MCU).
"Jadi memang lebih aware lagi. Mulai memperhatikan makanan, rutin periksa tubuh sendiri dan medical check up dua kali setahun," kata Chelsea.
Pentingnya deteksi dini
Deteksi dini memang berperan penting dalam meningkatkan peluang kesembuhan kanker payudara.
Bahkan, Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan, tingkat kelangsungan hidup (survival rate) kanker payudara bisa mencapai 90% hingga 98% bila ditemukan saat masih stadium awal atau di stadium satu dan dua.
"Tapi sebagian survival rate kanker payudara di kita itu hanya 3 tahun sampai 5 tahun karena banyak yang kita temukan di stadium tiga dan stadium empat," terang Nadia kepada KONTAN.
Saat kanker payudara baru dideteksi di stadium lanjut, dia mengatakan, biasanya kanker tersebut sudah menyebar ke bagian tubuh yang lain.
Baca Juga: Menkes Tekankan Pentingnya Deteksi Kanker Payudara bagi Perempuan di Atas 40 Tahun
Nah, hingga saat ini kanker payudara menjadi urutan pertama kanker paling sering dialami oleh perempuan di Indonesia.
Mengutip data The Global Cancer Observatory (Globocan), pada tahun 2022, diproyeksi kasus baru kanker payudara mencapai 66.271 kasus sebanyak 16,2% dari total proyeksi kasus baru kanker di Indonesia yang sebanyak 408.661 kasus.
Dari angka tersebut, tingkat kematian kanker payudara mencapai 22.598 kasus, karena tingkat skrining yang tidak memadai dan lebih dari 70% kasus biasanya terdeteksi pada stadium lanjut.
Lebih lanjut Nadia mengatakan, meskipun lebih dari 66.000 kasus baru kanker payudara yang diproyeksikan ada, hingga saat ini baru sekitar 11.800 kasus kanker payudara yang ditemukan di Indonesia. "Jadi masih jauh sekali dari angka perkiraan," ucapnya.
Ada juga sekitar 48.000 kasus yang ditemukan adanya benjolan, tetapi bukan merupakan kanker payudara. Dari sekitar 11.000 kasus kanker payudara yang ditemukan, angka kematiannya pun tinggi, yakni sebesar 55%.
Melihat angka ini, Nadia tak menampik, tidak banyak perempuan yang mau memeriksakan diri untuk mendeteksi kanker payudara. Menurutnya, ini karena biasanya orang tidak akan memeriksakan diri karena tidak merasakan sakit atau merasa tidak ada kejanggalan yang terjadi pada payudaranya.
"Walaupun kita ada programnya seperti SADARI dan Periksa Payudara Klinis (SADANIS), tetap saja, kalau tidak sakit dia tidak periksa, sehingga banyak yang tidak terdiagnosis. Kalau pun terdiagnosis dia sudah stadium lebih lanjut," jelas Nadia.
Padahal, menurut Nadia, dalam kondisi sehat pun, setiap perempuan wajib melakukan pemeriksaan kesehatan. Ini mengingat kanker payudara dan kanker leher rahim yang mengancam perempuan.
Baca Juga: SELANGKAH by Siloam Hospitals: 32 Ribu Skrining Kanker Payudara, Langkah Deteksi Dini
Program SADARI disarankan dilakukan setiap bulan, sehingga perempuan bisa mengenal payudaranya dan mengidentifikasi perubahan yang mencurigakan.
Sementara SADANIS sebaiknya dilakukan rutin setiap 1-3 tahun bagi perempuan usia 25-39 tahun dan sekali setahun bagi perempuan di atas 40 tahun. Bila menemukan benjolan, sebaiknya perempuan pun segera mendatangi fasilitas layanan kesehatan.
Walaupun program pemeriksaan kanker payudara ini sudah tersedia, Nadia tak memungkiri, ada berbagai alasan mengapa pemeriksaan ini tak masif dilakukan perempuan.
Pertama, literasi kesehatan untuk melakukan pemeriksaan secara rutin belum menjadi suatu kebiasaan. Kedua, meskipun banyak yang sudah memeriksa kesehatan, tak semua orang mau memeriksa kanker payudara.
"Jadi, kalau mendengar kanker itu seperti vonis mati. Lebih baik tidak tahu karena tidak merasakan gejala," tambah Nadia.
Rasa takut ini tidak hanya karena hasil kankernya, tapi juga takut pada stigma yang terjadi pada masyarakat. Padahal, hingga kini belum ada yang bisa memastikan apa penyebab kanker payudara.
Dia pun menyarankan perempuan berusia 15 tahun atau yang sudah tumbuh payudaranya sebaiknya melakukan pemeriksaan rutin.
Dari deteksi dini yang dilakukan, Nadia mengatakan jumlah kasus perempuan yang memiliki benjolan di payudaranya meningkat.
Ini melihat data dari Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang dihadirkan pemerintah sejak Februari lalu, terdapat penambahan orang yang memiliki benjolan di payudara kurang lebih 10%.
Baca Juga: Deteksi Kanker Payudara, RS Ciputra dan GE Healthcare Hadirkan Teknologi Baru
Dalam CKG, terdapat 1,11 juta orang atau 42,26% dari 2,64 juta peserta perempuan usia 30-69 tahun yang diperiksa untuk pemeriksaan kasus payudara.
Dari jumlah tersebut terdapat 1,1 juta orang yang diperiksa SADANIS dan hasilnya ditemukan benjolan sebanyak 5.633 orang atau 0,51%, dan curiga kanker sebesar 588 orang atau 0,05%.
Sementara ada 193.060 orang yang melakukan pemeriksaan USG dan hasilnya simple cyst atau kista sederhana sebesar 642 orang atau 0,33% dan non symple cyst 1.729 atau 0,9%.
Upaya meningkatkan deteksi dini
Kementerian Kesehatan tentu melakukan berbagai upaya di tingkat primer dan sekunder dalam meningkatkan deteksi dini kanker payudara.
Pertama, deteksi akan diperluas termasuk dengan CKG yang telah dilakukan. Menurut Nadia, ini bisa mendorong perempuan yang tidak sakit untuk datang ke fasilitas layanan kesehatan untuk mengetahui kondisi kesehatannya.
Program-program edukasi dan pendampingan pun dilakukan, terutama di tingkat puskesmas, dengan melibatkan kader-kader kesehatan. Ini supaya perempuan mau melakukan pemeriksaan kanker payudara, khususnya lewat program SADANIS.
Sementara di tingkat remaja, Kemenkes memiliki program pendidikan kepada remaja, khususnya bagi siswa SMP dan SMA dalam melakukan program SADARI yang benar.
Penguatan layanan kesehatan pun dilakukan. Mulai dari menambah probe linear USG untuk mendeteksi dini kanker payudara di tingkat puskesmas. Hingga saat ini tedapat 5.146 puskesmas yang sudah memiliki probe linear USG, dari total 10.268 puskesmas yang ada di Indonesia.
"Tahun ini rencananya ditambah sekitar 2.000 probe linear USG, dan tahun depan sisanya. Harus semua puskesmas punya," katanya.
Ada juga penambahan mamografi, PET scan, hingga alat radioterapi di tingkat rumah sakit provinsi atau kabupaten kota.
Selanjutnya: Bank DKI Resmi Bentuk Kelompok Usaha Bank (KUB) Bersama Bank Maluku Malut
Menarik Dibaca: Bibit Sediakan 19 Produk Surat Utang Negara Seri FR, Tingkatkan Minat Investor Ritel
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News