Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 turut berdampak pada permasalahan lingkungan, khususnya keberadaan limbah medis yang jumlahnya besar. Perlu antisipasi yang serius dari berbagai pihak untuk menangani limbah medis tersebut.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah menyebut bahwa jumlah limbah medis penanganan Covid-19 di beberapa daerah meningkat 5—10 kali lipat pada periode Maret—Juli 2021. Sampah-sampah medis Covid-19 sendiri tergolong dalam limbah bahan berbahaya beracun (B3).
Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, keberadaan limbah medis menjadi ancaman tersendiri di masa pandemi Covid-19 lantaran penggunaan alat-alat medis cukup masif. Limbah medis tak hanya berasal dari fasilitas kesehatan, melainkan juga lingkungan masyarakat sekitar.
Masker bedah dan alat pelindung diri (APD) yang notabene hanya bisa sekali pakai merupakan contoh barang yang kelak jadi limbah medis terbesar karena frekuensi penggunaannya yang tergolong tinggi. Belum lagi, ada sarung tangan medis, jarum suntik, dan bekas obat-obatan yang bisa dipastikan jumlahnya besar.
Nah, masalahnya limbah-limbah medis yang berasal dari fasilitas kesehatan maupun lingkungan masyarakat berpotensi menjadi sumber penularan virus Corona itu sendiri. “Para petugas kebersihan ataupun tenaga kesehatan cukup rawan tertular virus akibat limbah medis tersebut,” ujar dia, Kamis (5/8).
Baca Juga: Epidemiolog sebut penularan Covid-19 titik rawannya pada interaksi
Dia menambahkan, limbah medis yang tidak tertangani dengan baik juga berpotensi menimbulkan tindakan kejahatan. Sebagai contoh, alat tes Covid-19 bekas yang tidak segera dibuang sesuai prosedur bisa saja disalahgunakan oleh oknum-oknum yang hendak memalsukan tes Covid-19.
Di negara-negara maju, limbah medis biasanya dapat didaur ulang dengan fasilitas khusus. Jadi, limbah medis tersebut dapat dipisah berdasarkan asal tempatnya, mulai dari rumah sakit, pusat isolasi mandiri, maupun lingkungan masyarakat. Sayangnya, hal itu agak sulit dilakukan di Indonesia lantaran keterbatasan teknologi.
“Pandemi Covid-19 sekali lagi menjadi ujian bagi Indonesia untuk membangun sistem pengolahan sampah medis yang tertata baik,” ungkap Dicky.
Setali tiga uang, Pakar Kesehatan sekaligus Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menegaskan bahwa limbah medis Covid-19 harus mendapat perlakuan khusus dan tidak bisa disamakan dengan limbah medis lainnya. “Limbah ini tidak bisa dibuang sembarangan. Harus dikelola secara terpusat di tempat-tempat tertentu,” imbuh dia, hari ini (5/8).
Sebenarnya, regulasi soal penanganan limbah medis di Indonesia sudah ada. Tinggal implementasi di lapangan yang harus berjalan dengan baik dan disiplin. Dalam hal ini, limbah medis mesti dibakar di fasilitas insinerator dengan suhu mencapai ratusan atau bahkan ribuan derajat celcius.
Tiap rumah sakit, khususnya rumah sakit besar, sejatinya harus memiliki fasilitas pengolahan limbah medis secara mandiri. “Limbah medis harus dikelola di fasilitas khusus untuk menghindari kontaminasi dengan air atau udara di sekitar,” pungkas dia.
Selanjutnya: Meski vaksinasi tengah digencarkan, prokes 5M jangan sampai diabaikan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News