Reporter: Ramadhani Prihatini | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nikotin kerap dianggap kandungan tembakau yang berbahaya oleh masyarakat. Namun hasil penelitian Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia justru membuktikan hal yang lain.
Lantaran merujuk pada penggolongan senyawa, nikotin merupakan senyawa kimia organik kelompok alkaloid yang dihasilkan secara alami pada berbagai macam tumbuhan, salah satunya tembakau.
Tim Peneliti YPKP Indonesia, Amaliya menjelaskan nikotin merupakan zat adiktif yang mengakibatkan kecanduan jika dikonsumsi dalam dosis tinggi. Tapi, tidak hanya dalam produk tembakau, nikotin juga terkandung dalam sayuran, seperti kembang kol, kentang, terong, dan tomat
“Masih banyak simpang siur dan kesalahpahaman di masyarakat tentang komponen atau senyawa berbahaya dari konsumsi produk tembakau,” jelas Amaliya pada keterangan tertulisnya, Selasa (16/1).
Menurut kajian YPKP Indonesia jika dikonsumsi secara terus menerus dalam jangka panjang, nikotin akan menyebabkan efek kecanduan. Namun, tidak memicu berbagai penyakit yang biasa disebutkan pada kemasan rokok.
Ia mengimbuh padahal berdasarkan kajian ilmiah, komponen berbahaya yang memicu berbagai penyakit seperti jantung, kanker, dan paru-paru adalah senyawa hasil pembakaran yang disebut dengan TAR.
Amaliya bilang TAR yang dihasilkan dari proses pembakaran jauh lebih berbahaya, termasuk yang dihasilkan dari pembakaran produk tembakau. Hal itu yang menjadi permasalahan tak kunjung menemukan solusi di Indonesia.
Padahal YPKP Indonesia secara independen telah melakukan penelitian terhadap salah satu produk tembakau alternatif yaitu rokok elektrik atau vape. Hasilnya, vape dinilai memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok yang dikonsumsi dengan dibakar.
“Hal tersebut dapat terjadi karena dalam konsumsinya, vape menggunakan teknologi yang dipanaskan bukan dibakar sehingga TAR, senyawa karsinogenik berbahaya, hasil pembakaran rokok bisa dieliminasi,” jelasnya.
Perilaku ketergantungan masyarakat terhadap produk tembakau dibakar merupakan salah satu permasalahan klasik yang hingga saat ini belum menemukan solusinya, salah satunya di Indonesia. Padahal tercatat, pemerintah harus mengeluarkan biaya kesehatan sebesar Rp107 miliar per tahun.
YPKP Indonesia secara independen telah melakukan penelitian terhadap salah satu produk tembakau alternatif yaitu rokok elektrik atau vape. Hasilnya, vape dinilai memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok yang dikonsumsi dengan dibakar.
“Hal tersebut dapat terjadi karena dalam konsumsinya, vape menggunakan teknologi yang dipanaskan bukan dibakar sehingga TAR, senyawa karsinogenik berbahaya, hasil pembakaran rokok bisa dieliminasi,” jelasnya.
Bagi konsumen produk tembakau, terutama produk tembakau yang dibakar sudah mulai mengenal jenis produk tembakau alternatif yang mulai tren sejak tahun 2013. Jenis tersebut yakni rokok elektrik atau biasa disebut vape, nikotin tempel, snus, serta produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar justru memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan produk tembakau yang dibakar.
Amaliya menyatakan sari dari hasil profil kromatografi atas kajian cairan dan uap vape yang telah diteliti selama enam bulan memperlihatkan adanya kandungan UP Propylene Glycol, USP Glycerin Natural/Vegetable, dan perasa pada cairan vape. “Karenanya, vape menjadi jauh lebih rendah risiko kesehatannya dibandingkan rokok yang dikonsumsi dengan cara dibakar,” ungkapnya.
Beberapa hasil penelitian yang membuktikan hal serupa yaitu hasil penelitian dari Public Health England (PHE) sebuah badan kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan Inggris Raya. Pada tahun 2015, hasil penelitian PHE menunjukkan bahwa produk tembakau yang dipanaskan dapat menurunkan risiko kesehatan hingga 95 %.
Selain itu, sebuah studi dari Georgetown University Medical Center Amerika Serikat yang diterbitkan dalam jurnal Tobacco Control turut mengungkapkan bahwa jika perokok beralih ke produk tembakau alternatif, sebanyak 6,6 juta orang di Amerika Serikat berpotensi dapat terhindarkan dari kematian dini.
Amaliya berujar, jika angka ini diterjemahkan ke Asia, khususnya Indonesia yang saat ini memiliki angka perokok yang tinggi, dapat dibayangkan berapa besar potensi jutaan jiwa yang bisa diselamatkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News