Reporter: Thomas Hadiwinata | Editor: Thomas Hadiwinata
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dunia menyepakati vaksinasi merupakan cara yang paling efektif, sekaligus aman, untk menimbulkan kekebalan kelompok, alias herd immunity. Namun pelaksanaan vaksinasi semacam apa, yang perlu dilakukan dunia di masa kini untuk mengakhiri pandemi Covid-19?
Dari sudut perlindungan kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, vaksinasi yang ideal adalah yang digulirkan secara cepat. Pernyataan semacam itu disampaikan WHO ketika sejumlah negara Eropa melakukan penghentian sementara vaksinasi Covid-19, menyusul kemunculan kejadian ikutan paska imunisasi (KIPI). WHO saat itu mengatakan, vaksinasi yang lambat akan memperpanjang masa pandemi.
Alasan lain tentang perlunya program vaksinasi dilaksanakan bergegas adalah mengimbangi proses mutasi corona. Para ahli berharap kekebalan kelompok sudah terbentuk sebelum muncul varian virus yang memiliki sifat lebih ganas. Kekhawatiran semacam ini yang muncul dari bencana tsunami virus corona yang dialami India.
Pelaksanaan program vaksinasi yang cepat juga penting dalam konteks ekonomi. Dalam laporan interim terakhirnya yang terbit awal April, Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menekankan program vaksinasi yang berjalan cepat, dibarengi dengan pelaksanaan protokol kesehatan, merupakan syarat mutlak pemulihan ekonomi global.
Baca Juga: WHO beri izin penggunaan darurat vaksin Covid-19 buatan Sinopharm
Kendati sudah menyadari perlunya program vaksinasi yang bergulir cepat, dunia belum satu suara tentang cara mencapainya. Cara mempercepat program vaksinasi yang sempat terlontar adalah meningkatkan produksi.
Nah, sehubungan dengan peningkatan produksi ini, muncul usulan agar dunia melakukan pengabaian hak intelektual atas vaksin Covid-19. Jadi, pabrik farmasi di negara-negara yang berekonomi tanggung hingga lemah, bisa memproduksi sendiri vaksin Covid-19.
Sejauh ini, Amerika Serikat (AS) menjadi satu-satunya negara asal sejumlah pengembang vaksin, yang menyatakan mendukung usulan dari India dan Afrika Selatan itu. Presiden AS Joe Biden, pekan ini, menyatakan negerinya akan mendukung usulan pengabaian paten atas vaksin Covid-19 di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Uni Eropa, yang juga tempat domisili dari perusahaan pengembang vaksin Covid-19, belum mencapai suara yang bulat. Ada negara anggotanya yang setuju atas pengabaian, seperti Italia. Namun banyak juga yang menolak, seperti Jerman.
Baca Juga: Inilah vaksin pertama dari negara non-Barat yang dapat dukungan WHO
Secara garis besar, argumentasi mereka yang menolak adalah pengabaian paten tidak akan mampu meningkatkan kapasitas produksi dalam jangka pendek. Jadi, tujuan mempercepat pelaksanaan program vaksinasi jelas tidak tercapai.
Alasannya, agar bisa efektif, usulan tersebut harus disepakati seluruh anggota WTO, yang mencapai 160-an negara. Dan, proses pembahasan usulan di WTO diperkirakan berlangsung selama dua tahun.
Andai proses pembahasan bisa dipercepat sekali pun, mereka yang kontra meragukan, standar produksi pemegang paten bisa diduplikasi. Keterbatasan fasilitas produksi vaksin di negara-negara berkembang dan miskin di masa kini turut menjadi alasan kaum yang menolak usulan.
Kelompok yang kontra dengan pembebasan hak kekayaan intelek atas vaksin, menyorot balik AS. Menurut mereka, peningkatan produksi vaksin juga bergantung pada peningkatan produksi komponen lain, seperti tabung yang dibutuhkan untuk vaksin.