Penulis: Virdita Ratriani
KONTAN.CO.ID -Jakarta. Ganja medis adalah istilah untuk turunan dari tanaman Cannabis sativa yang digunakan untuk meredakan gejala yang disebabkan oleh kondisi medis tertentu.
Dikutip dari laman Mayo Clinic, ganja medis mengandung banyak senyawa aktif, yang paling terkenal adalah delta-9 tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD).
THC adalah bahan utama dalam ganja yang membuat orang merasa "melayang" atau "nge-fly". Di beberapa negara, ganja medis diperbolehkan digunakan untuk pengobatan dan terapi penyakit tertentu.
Baca Juga: PBB: Konsumsi Ganja Meningkat, Risiko Depresi pun Meningkat
Dikutip dari laman National Institute on Drug Abuses (NIDA), di Australia satu-satunya obat dengan ganja medis yang termasuk dalam Australian Register of Therapeutic Goods (ARTG) adalah Nabiximols.
Obat ini digunakan untuk pengobatan multiple sclerosis. Sementara, Food and Drug Administration (FDA) A.S. telah menyetujui obat berbasis THC, dronabinol (Marinol®) dan nabilone (Cesamet®).
Kedua obat tersebut untuk mengatasi mual pada pasien yang menjalani kemoterapi kanker dan untuk merangsang nafsu makan pada pasien dengan wasting sindrom akibat AIDS.
Selain itu, FDA juga menyutujui penggunaan ganja medis untuk pengobatan epilepsi dengan obat bernama Epidiolex.
Baca Juga: Menengok Tentakel Bisnis Grup Saraswanti, Setelah SAMF, Kini SWID Digiring IPO di BEI
Legalisasi ganja medis di Indonesia
Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan, proses legalisasi ganja pun membutuhkan penelitian secara ilmiah yang jelas, ilmu pengetahuan yang pasti, dan membutuhkan waktu untuk melakukan penelitian tersebut.
"Sehingga, tidak dapat langsung serta merta dipersamakan karakteristik beberapa negara dengan negara Indonesia dalam melakukan pelegalisasian terhadap minyak ganja untuk pelayanan Kesehatan,” ucap Taufik.
Baca Juga: Resmi Legal untuk Medis, Pemerintah Thailand akan Distribusikan 1 Juta Biji Ganja
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Arianti Anaya mewakili Pemerintah mengatakan, belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.
Apalagi ditunjang dengan sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia.
“Dengan demikian, kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini. Meskipun saat ini di Amerika salah satu kandungan, yaitu Kanabidiol dapat memberikan efek anti epilepsi dan sudah di-approve oleh FBI pada tanggal 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex, tetapi di Indonesia terdapat drug of choice epilepsy, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya," urai Arianti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News