Sumber: Kompas.com | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah pandemi virus corona yang masih berlangsung, pemerintah dihadapkan pada masalah kesehatan lain, yaitu dengue hemorraghic fever (DHF) atau wabah demam berdarah dengue (DBD). Menurut Kementerian Kesehatan, ada 64.251 kasus DBD yang dilaporkan dengan jumlah kematian sebanyak 385 orang antara bulan Januari hingga 17 Juni 2020.
Provinsi Bali mencatatkan jumlah kasus tertinggi, yaitu sebanyak 8.930, disusul Jawa Barat, sebanyak 6.337 kasus. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyebut bahwa jumlah kasus yang tercatat saat ini di tahun 2020 lebih rendah daripada tahun lalu. Sebelumnya ada 98.000 kasus yang dilaporkan terjadi pada waktu yang sama di tahun 2019.
Namun, perhatian terbesar di tahun ini adalah alasan mengapa kasus terus meningkat meskipun bulan puncak demam berdarah pada Maret dan April telah dilewati. Adapun jumlah kematian yang dilaporkan sejauh ini adalah separuh dari angka di periode yang sama tahun lalu.
"Normalnya, kami melihat jumlah kasus DBD yang sangat rendah di bulan Juni. Kami masih mencoba mencari tahu mengapa masih ada banyak kasus di bulan Juni," kata Nadia sebagaimana dikutip Straits Times, Sabtu (20/6).
Baca Juga: Virus corona disebut tak akan hilang meski ada vaksin, ini penjelasannya
Kementerian Kesehatan juga mendorong pihak pengelola gedung perkantoran, tempat ibadah, dan tempat-tempat lain untuk memeriksa keberadaan nyamuk dan melakukan fogging atau larvisida. Sebelumnya, pada tahun 2016, Indonesia mencatatkan jumlah kasus dan kematian akibat DBD tertinggi, yaitu dengan 204.171 kasus dan 1.598 kematian.
Pakar penyakit tular vektor, Dr Rita Kusriarti mengatakan bahwa perubahan pola cuaca tahun ini, dengan transisi dari musim kemarau ke musim hujan pada bulan Mei (bukan Maret), berkontribusi pada sejumlah besar kasus pada bulan Juni. Pihaknya juga menyebut bahwa pandemi Covid-19 telah memberikan tekanan pada upaya pencegahan DBD.
"Sistem yang diterapkan untuk memantau nyamuk baik secara mandiri oleh penduduk maupun pemerintah tidak bekerja selama pandemi karena semua energi didedikasikan untuk mengatasi Covid-19," tambahnya. Dr Nadia mengungkapkan bahwa kebijakan pembatasan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah membatasi pergerakan para petugas kesehatan yang memantau adanya nyamuk melalui sistem door-to-door dan mendistribusikan larvisida kepada penduduk, atau disebut jumantik.
Sementara itu, Kepala Divisi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Dinas Kesehatan Bali, I Wayan Widia mengatakan bahwa jumlah kasus yang tinggi di wilayahnya disebabkan oleh tidak adanya kewajiban pembersihan satu bulan sekali karena pembatasan Covid-19. Menurutnya, kondisi ini membuat sejumlah tempat seperti saluran air, menjadi tempat nyamuk bertelur. "Dengan anjuran tetap di rumah, orang-orang tidak dapat melakukan aktivitas untuk membasmi sarang nyamuk secara masif," ujar dia.
Baca Juga: Ini senjata rahasia Singapura dalam memerangi demam berdarah
Adapun tempat-tempat lain dengan reservoir air seperti hotel dan resort, juga menjadi tidak terjaga karena sebagian pekerja tidak bertugas. Kondisi ini pun dinilai turut berkontribusi dalam perkembangbiakan nyamuk.
Menurut Erlina Salmun, Divisi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi NTT, ada kaitan antara jumlah kematian dengan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang demam berdarah. Ketidaktahuan ini dinilai menyebabkan kondisi dimana saat mereka membawa anggota keluarga yang sakit, sebagian besar telah cukup terlambat. "Para pasien dikirim ke rumah sakit saat kondisinya sudah parah," katanya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Ada 64.251 Kasus DBD di Tengah Pandemi Covid-19 di Indonesia.
Penulis: Vina Fadhrotul Mukaromah
Editor: Rizal Setyo Nugroho
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News