kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tekfin: Till debt do is part?


Jumat, 26 Oktober 2018 / 15:17 WIB
Tekfin: Till debt do is part?


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Perkembangan industri teknologi finansial (tekfin) semakin berkembang saat ini. Ada dua layanan yang tengah menjadi fitur utama layanan tersebut. Seperti layanan pinjaman (lending). Jumlahnya sudah mencapai 32% kedua terbesar setelah layanan pembayaran (payment) yang mencapai 39%. Ini mengindikasikan indikator pasar pinjaman sangat potensial.

Dalam konteks bisnis tekfin tersebut, peminjam diibaratkan bak tanah kerontang yang haus kucuran dana untuk berbagai keperluan. Sebaliknya, pemberi pinjaman menginginkan dana idle yang bisa menjadi produktif sehingga menghasilkan imbal balik yang bagus.

Tren meminjam sepertinya menjadi keniscayaan dari perorangan sampai negara. Jejak historisnya bisa dirunut sejak 3000 tahun lalu di Mesopotamia. Tapi janji pinjam-meminjam uang memang bukan janji suci pernikahan: dalam suka dan duka sampai kematian memisahkan kita (till death do us part).

Dalam pinjam-meminjam, semua pihak berharap lancar namun kemungkinan macet bahkan gagal bayar pun bisa saja terjadi. Lalu apakah janji akad kredit tetap memilih setia atau cerai, till debt do us part?

Tekfin pinjaman baik peer to peer atau payday loan harus menghindari kemungkinan perangkap cerai gara-gara utang. Trauma keuangan seperti diatas bisa menjangkiti peminjam pun pemberi pinjaman. Momok seperti ini memang bawaan. Tekfin harus mempersempit epideminya sejalan dengan peran inklusi keuangan yang diemban agar iklim pinjaman tetap dipercaya.

Beberapa penelitian menemukan bahwa utang telah menjadi penyebab terbesar perceraian dibanding penyebab lain seperti perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Keluarga di Amerika Serikat (AS) rata-rata memiliki pinjaman dengan total nilai sebesar US$ 20.000 dalam berbagai bentuk. Hampir mayoritas pernikahan baru dibebani dengan utang bawaan, 67% perempuan dan 74% laki-laki. Fenomena ini sering disebut sebagai negative dowry, mahar minus. Jumlah mahar dibandingkan besaran utang yang dibawa kedua mempelai masih belum mampu melunasi utang tersebut.

Dalam konteks tekfin, mahar berupa jumlah pinjaman harus menyehatkan kondisi finansial yang ada, baik peminjam maupun pemberi pinjaman. Jangan sampai pinjaman itu memperburuk kondisi finansial. Misalnya, utang bawaan peminjam sudah menumpuk sehingga terperangkap gali lubang tutup lubang.

Masalahnya pemberi pinjaman tekfin sering tidak tahu ada utang gelap dalam klausul pinjam-meminjam yang disetujui. Peminjam sendiri sering tidak jujur terhadap posisi kreditnya baik kepada diri sendiri apalagi kepada pemberi pinjaman. Belum lagi sindrom kemakmuran semu, takut dianggap tidak bankable. Dalam konteks ini khawatir dianggap tidak layak mendapat pinjaman tekfin, katakanlah tidak fintechable.

Padahal jika merunut ke belakang memang rekam jejak pinjaman tidak baik. Tapi terus terobsesi pinjaman baru secara kompulsif demi citra kredibel dan makmur itu. Namun itu semua penuh kepalsuan yang suatu saat macet dan gagal bayar. Tekfin pinjaman harus bisa memberi manfaat bagi kondisi finansial peminjam serta pemberi pinjaman dan bukan sebaliknya menjadi korban penumpang gelap utang lama, usaha tak berprospek (bodong) dan perilaku boros. Ingat tiga dari empat orang di AS mengakui uang penyebab stres nomor satu. Bisa jadi itu utang.

Cek berulang keinginan

Analogi mahar diatas juga bermakna konotatif apakah itu generasi milenial (individu atau pasangan), usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) atau lembaga usaha apapun yang mendapat pinjaman tekfin. Prinsip kepercayaan dalam pinjaman-meminjam tidak datang dalam semalam. Bibit, bobot dan bebet finansial peminjam bisa diketahui dari lacak data, pekerjaan, latar keluarga, relasi digitalnya (ujungnya di big data).

Itu semua bertujuan untuk memastikan tidak ada hidden agenda yang tak terdeteksi sebelum dan setelah pinjaman tekfin didapat. Sehingga kesehatan pinjaman relatif bisa dipastikan manfaat dan prospek pengembaliannya. Biar adil konsumen juga harus mengetahui kredibilitas dan integritas dari lembaga tekfin pemberi pinjaman.

Sayang, tidak semudah itu mengetahui isi perut konsumen kita. Jika terhadap mereka saja kita tidak tahu secara jelas, bagaimana bisa tahu tujuan pinjaman untuk kebutuhan atau keinginan. Apalagi keputusan konsumen membeli jasa maupun produk, kini tidak dominan karena mempertimbangkan nilai dan manfaatnya secara riil. Tapi lebih karena keyakinan dan logika yang didapat dari komunikasi pemasaran, edukasi, presentasi, iklan, promosi yang dilakukan tim pemasar (Os Guiness, 2018).

Dalam konteks tekfin jumlah pinjaman, bunga, cicilan, tenor waktu pengembalian misalnya dinilai memuaskan, bunganya logis wajar, menjawab kebutuhan dan dirasa cukup. Padahal pinjaman sekalipun konsumtif harus memberikan nilai dan manfaat yang besar. Apalagi jika bersifat produktif harus memberikan imbal hasil yang bagus untuk membayar cicilan.

Edukasi keuangan bukan hanya di kepala dan hati saja tetapi nyata dalam bentuk putaran pinjaman yang mampu memberikan nilai tambah dan bisa membiakkan Hal ini sangat krusial mengingat 60% modal usaha berasal dari pinjaman dan dari jumlah itu sebanyak 53%-nya untuk memelihara cash flow. (Harvard Business Review, Juli 2014).

Know your customer? Sampai sejauh mana bisa tahu isi perut finansial peminjam? Apakah meminjam untuk kebutuhan produktif atau keinginan konsumtif? Usaha tekfin perlu memperluas term and condition dalam menyetujui pinjaman.

Artinya bisa menelisik ke dalam tujuan pinjaman itu untuk apa. Karena uang dan keinginan memang licin, ia bisa tergelincir menjadi masalah. Apalagi hakekat uang kini adalah motor utama our cultural carnival of consumption. Nilai dan jumlah uang untuk dipinjam dan dibelanjakan meningkat sangat cepat dalam nilai dan volumenya. Digitalisasi finansial kian memperbesar impact. Bukan saja level individu tetapi juga level negara, yang tidak pernah terbayangkan pada masa lalu.

Sebaliknya peminjam milenial harus jujur, mencermati dan menguji berulang tujuan pinjaman mereka itu. Kebutuhan atau keinginan, alokasi untuk apa dan akibat positif apa yang didapat dari pinjaman tersebut. Syukur bila manfaat pinjaman terukur dan tersimulasikan. Tujuannya agar pinjaman tekfin berjalan sehat-untung sehingga bisa memunculkan citra dan rekam jejak yang bagus serta mendapat kepercayaan tekfin lebih besar lagi.

Atmosfer pinjam-meminjam seperti inilah yang diharapkan semua pihak. Bukan macet dan gagal bayar yang menurut penelitian menurunkan kualitas hidup. Seperti relasi rusak, depresi akut, emosi labil, fisik sakit dan kinerja runtuh. Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang, kata peribahasa.

Stevanus Subagijo
Peneliti Center for National Urgency Studies

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×