kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Eksistensi ketahanan pangan lokal


Jumat, 22 Maret 2019 / 16:05 WIB
 Eksistensi ketahanan pangan lokal


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pemerintah masih harus banyak melakukan perbaikan kualitas gizi dan keamanan pangan. Meskipun ketahanan pangan nasional terbilang membaik.

Kualitas gizi pangan terkait erat dengan pencapaian diversifikasi dan keamanan pangan. Untuk itu, aspek kualitas dan keamanannya perlu mendapat perhatian yang lebih dalam program pertanian, pangan, dan gizi di Indonesia.

Kebijakan tersebut dapat ditemukan di berbagai dokumen, mulai dari Undang-Undang (UU) Pangan, Peraturan Pemerintah (PP) Ketahanan Pangan dan Gizi, Rencana Aksi Pangan dan Gizi tingkat Nasional dan Daerah (RAN-PG dan RAD-PG), Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP), hingga Peraturan Presiden (Perpres) 22/ 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.

Sebenarnya pemerintah sudah memperhatikan diversifikasi pangan dan gizi sejak lama. Pada 1951 dipopulerkan slogan Empat Sehat Lima Sempurna, suatu pedoman sederhana menyusun menu sehat oleh Prof. Purwo Sudarmo.

Upaya tersebut kemudian diikuti dengan pembentukan Panitia Negara Perbaikan Makanan pada 1952. Ini merupakan lembaga lintas departemen yang beranggotakan wakil-wakil dari instansi terkait. Panitia mempunyai status sebagai penasihat kabinet dalam hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan pangan.

Tahun 1958, panitia tersebut berubah menjadi Dewan Bahan Makanan, yang berfungsi eksekutif, terutama menitikberatkan pada masalah beras. Tahun 1967, kegiatan gizi ini disempurnakan organisasinya dengan kegiatan bernama Applied Nutrition Program (ANP) yang kemudian terus berkembang dan dikenal sebagai program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Kemudian, Menteri Kesehatan melalui Surat Keputusan No 257/KAB/B.VII/71 tanggal 15 November 1971 membentuk Badan Pekerja Usaha Perbaikan Gizi Pusat. Pada 13 September 1974 diterbitkan Instruksi Presiden 14/1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat.

Secara konsep akademis, sebelum tahun 1990, perbaikan gizi dalam konteks diversifikasi pangan masih berjalan dengan merujuk pada konsep Empat Sehat Lima Sempurna. Sejak 1990-an, pedoman tersebut dianggap tak lagi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi gizi.

Hal tersebut juga sesuai dengan adanya perubahan pedoman Basic Four di Amerika Serikat yang merupakan acuan awal Empat Sehat Lima Sempurna pada masa itu menjadi Nutrition Guide for Balance Diet, yang diterjemahkan menjadi Pedoman Gizi Seimbang.

Ada banyak kebijakan yang dituangkan semasa Orde Baru terkait dengan persoalan tersebut. Begitupun setelah Orde Reformasi, berbagai upaya tetap digagas.

Misalnya pada awal 2000, Departemen Kesehatan juga memberikan dukungan terhadap program penganekaragaman pangan, antara lain dengan menyelenggarakan gerakan Kadarsi, yaitu program Keluarga Sadar Gizi.

Salah satu kesadaran yang dibangun adalah memasyarakatkan gaya hidup sehat melalui penerapan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Setelah itu, pada 2009, secara resmi PUGS diterima masyarakat, sesuai dengan UU Kesehatan No. 36/2009 yang menyebutkan eksplisit Gizi Seimbang dalam program perbaikan gizi.

Tahun 2006, Pemerintah membentuk Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai langsung oleh Presiden dengan beranggotakan kementerian terkait melalui Perpres No. 83/2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan. Salah satu produk yang dihasilkan adalah dokumen yang disebut KUKP, yang di dalamnya juga memuat arahan mengenai diversifikasi pangan dan peranan setiap kementerian dan lembaga dalam mendorong tercapainya diversifikasi pangan.

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan Badan Ketahanan Pangan pada tahun 2007-2008, disimpulkan bahwa program diversifikasi pangan yang telah berlangsung lebih dari setengah abad belum memberikan hasil yang maksimal.

Dalam beberapa hal penganekaragaman pangan juga salah komoditas, karena sumber karbohidrat maupun sumber protein yang meningkat konsumsinya justru beras dan pangan berbasis impor, khususnya terigu dan kedelai, bukan komoditas pangan lokal. Bahkan, untuk komoditas lain seperti sayuran, buah, daging, dan susu ditengarai kontribusi pangan impor semakin meningkat.

Berkaitan dengan itu, pada 2009, lahirlah Perpres 22/2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Langkah utama yang dilakukan adalah menggalakkan produksi dan konsumsi pangan lokal melalui pengembangan berbagai program di tingkat grass root dengan menggalakkan pemanfaatan pekarangan dengan menggunakan sistem pertanian terpadu, baik rumah tangga, kelompok, maupun suatu kawasan yang kemudian dikenal sebagai program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL).

Dalam program tersebut, selain budidaya, dikenalkan industri penepungan yang disertai dengan bantuan alat penepungan umbi-umbian, serta pembinaan pengembangan industri kecil atau industri rumah tangga. Kegiatan juga menyasar sekolah dengan penyebaran pengetahuan pangan lokal dan pembuatan kebun gizi di sekolah.

Upaya berikutnya adalah melalui penyempurnaan UU Pangan. Disadari bahwa beleid tersebut masih menekankan pada pentingnya membangun sistem keamanan pangan (food safety), sementara aspek ketahanan pangan (food security) dan apalagi kemandirian pangan (food self sufficiency) maupun kedaulatan pangan (food sovereignty) belum disentuh sama sekali.

Untuk itu, berbagai upaya multisektor dilakukan agar dapat meberikan perubahan terhadap perundang-undangan yang ada karena kompleksitas permasalahan pangan, khususnya ketahanan pangan satu indikatornya adalah diversifikasi pangan. Upaya perubahan UU Pangan ini berhasil ketika pada 2012 UU Pangan yang baru telah diterbitkan, yaitu UU 18 tahun 2012 tentang Pangan.

Sebagai tindak lanjut dari UU ini juga telah diterbitkan PP 17/2015 tentang Ketahanan Pangan. Target pencapaian program diversifikasi pangan di Indonesia adalah percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, yakni dengan cara memfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman.

Kebijakan pangan yang mengedepankan penghargaan pada eksistensi keanekaragaman pangan lokal sangat diperlukan ke depannya, mengingat Indonesia sangat kaya dengan tanaman pangan. Ada berbagai jenis dan rasa, membentang dari ujung barat sampai ujung timur nusantara. Berbagai tanaman pangan ini ada yang harus diolah dengan cita rasa khas dan bergizi tinggi. Banyak pula yang bisa dimakan mentah (buah-buahan dan sayuran) yang sehat menyegarkan.

Dengan kata lain, Indonesia tidak kekurangan bahan pangan, karena di mana pun ada tanaman lokal yang tumbuh subur. Di desa-desa dan pedalaman, leluhur kita mengajarkan bercocok tanam atau memilih tanaman di hutan yang bermanfaat untuk kehidupan masyarakat.♦

Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi Universitas Padjadjaran

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×