kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Profesi dokter bedah plastik: Tenaganya minim


Selasa, 18 Desember 2012 / 14:00 WIB
Profesi dokter bedah plastik: Tenaganya minim
ILUSTRASI. Ilustrasi pemberian vaksin dosis kedua Covid-19.


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Tri Adi

Prospek profesi dokter spesialisasi bedah plastik di Indonesia sangat cerah. Tingginya kebutuhan bedah plastik belum diiringi oleh jumlah dokter yang memadai. Wajar, jika tarif dokter spesialisasi bidang ini masih terbilang mahal. Anda tertarik?

Jarum jam baru menunjukkan pukul sembilan pagi. Tapi, Asrofi Surachman sudah bersiap menjalani tugas rutinnya sebagai dokter spesialis bedah plastik: mengoperasi bibir sumbing seorang pasien berusia 1,5 tahun. “Sebentar ya, Mas, saya harus masuk ruang operasi. Pasien sudah disuntik bius,” ujar dokter berusia 50 tahun ini kepada KONTAN saat ditemui di Gedung Departemen Bedah Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (31/10) lalu.

Hanya untuk melakukan operasi bibir sumbing, Asrofi butuh waktu sekitar satu jam. Maklumlah, sebuah bedah plastik punya teknik dan prosedur yang terukur. Jika salah tindakan, bukan hasil sempurna yang diraih, melainkan sebaliknya. Di sinilah tugas dokter bedah plastik diuji. “Bedah plastik bukan hanya menyambung bagian yang terpisah, tapi harus ada unsur simetris dan estetikanya,” kata Asrofi.  

Lalu, apa sesungguhnya profesi dokter bedah plastik ini? Menurut Asrofi, bedah plastik adalah ilmu kedokteran yang bertujuan merekonstruksi atau memperbaiki bagian tubuh manusia melalui media operasi.

Istilah bedah plastik berasal dari bahasa Yunani, yaitu“plastikos” yang berarti “membentuk” atau memberi bentuk. Ilmu bedah plastik merupakan cabang dari ilmu bedah yang bertujuan untuk mengembalikan bentuk dan fungsi yang normal serta menyempurnakan bentuk dengan proporsi lebih baik.

Di Indonesia, bedah plastik dirintis oleh Profesor Moenadjat Wiratmadja. Setelah lulus spesialis bedah dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) pada 1958, dia melanjutkan pendidikan bedah plastik di Washington University dan Barnes Hospital di Amerika Serikat hingga tahun 1959.

Sepulang dari AS, Moenadjat mengkhususkan diri memberikan pelayanan umum dan pendidikan bedah plastik pada mahasiswa dan asisten bedah di Fakultas Kedokteran UI dan RS Cipto Mangunkusumo. Moenadjat wafat pada tahun 1980.

Seiring perkembangannya, di tahun tersebut, 11 orang dokter bedah plastik yang ada di Indonesia mendirikan Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Indonesia (Perapi). Perhimpunan ini merupakan wadah para dokter spesialis bedah plastik. Setelah terbentuknya Perapi, pada 1982 perhimpunan ini secara resmi mendaftarkan kegiatan bedah plastik ke notaris sebagai sebuah profesi kedokteran. “Dari situlah, profesi bedah plastik terus berkembang,” kata Asrofi yang menjabat sebagai Ketua Umum Perapi.

Saat ini ruang lingkup bedah plastik terdiri dari dua bidang: bedah plastik rekonstruksi dan bedah plastik estetika. Bedah plastik rekonstruksi bertujuan memperbaiki struktur abnormal tubuh karena cacat bawaan atau cacat yang didapat.

Menurut Irena Sakura Rini, dokter ahli bedah plastik dari Rumah Sakit Dharmais, bedah plastik rekonstruksi bisa diterapkan untuk pasien pasca-pengangkatan tumor, cacat lahir, trauma kecelakaan, luka bakar, hemangioma (tumor pembuluh darah yang menonjol keluar). Jenis bedah ini bisa dilakukan di semua bagian tubuh pasien. Mulai dari wajah hingga tubuh.  

Untuk bedah plastik wajah, umumnya kulit pengganti pengangkatan kulit mati akibat tumor diambil dari kulit leher yang punya karakteristik hampir sama dengan kulit wajah. Atau bisa ditarik dari kulit dahi atau kulit pipi jika mungkin.

Jika kerusakan terjadi cukup parah, bisa dibentuk organ baru seperti hidung atau telinga baru dari jaringan kulit yang lain. Misalnya, dari dahi dengan

cara mengembangkan jaringan kulit tersebut. “Kulit manusia itu bisa mengembang hingga dua kali lipat. Hanya dalam tiga pekan, kulit manusia bisa tumbuh lagi,” ujar Irena.

Sementara itu, untuk kanker payudara yang banyak terjadi pada wanita dan membuat mereka harus kehilangan payudaranya, bedah plastik menjadi salah satu solusi mengembalikan kepercayaan dirinya.

Bedah plastik payudara bisa dilakukan dengan pemindahan otot punggung atau otot perut, atau juga pemasangan implan dengan menggunakan implan buatan yang terbuat dari silikon gel kohesif atau silikon padat. Jangan Anda pernah mencoba menggunakan silikon cair. Sebab, silikon jenis ini bisa menimbulkan infeksi terus-menerus, pengerasan organ dan merusak jaringan tubuh yang sehat menjadi rusak.

Sementara bedah plastik jenis estetika (kosmetik) bertujuan memperbaiki atau membentuk kembali struktur normal dari tubuh agar berpenampilan lebih baik. Penerapan bedah plastik estetika dilakukan sesuai kebutuhan dan permintaan pasien. Misal, memancungkan hidung pesek dan pengencangan kulit wajah (face lift) lewat bedah plastik.



Harus bisa bilang tidak

Menurut Irena, seorang dokter bedah plastik tidak melulu harus mengamini permintaan pasiennya. Seorang dokter harus bisa mengatakan “tidak” pada permintaan pasien. Sebab, sang dokter yang menentukan masuk akal atau tidaknya bedah plastik dilakukan terhadap pasien. “Misalnya, secara fisik si pasien sehat dan organ tubuhnya bisa dioperasi plastik. Tapi, kalau permintaan itu hanya sekadar ikut tren, dokter harus bilang tidak,” kata Irena.

Dia menambahkan, dalam menjalankan tugasnya, seorang dokter bedah plastik juga harus memperhatikan rambu-rambu yang berlaku. Misalnya, pasien harus melakukan serangkaian pemeriksaan kesehatan terlebih dulu sebelum menjalankan bedah. Hal ini, terutama bagi pasien yang punya riwayat penyakit kronis, diabetes, jantung, fungsi ginjal, anemia, dan hipertensi

Selain itu, harus diperhatikan juga umur pasien. Meski umumnya bedah plastik bisa dilakukan kepada pasien segala umur, memperhatikan kematangan usia pasien juga sangat penting. Ambil contoh untuk bedah plastik rekonstruksi.

Menurut Irena, batas usia pasien yang bisa menerima proses bedah plastik rekonstruksi adalah 3 bulan hingga 50 tahun. Untuk pasien di atas 50 tahun, dokter bedah plastik harus menerima clearance rekam medik dari dokter ahli penyakit dalam, semisal dokter jantung. “Meski operasi kecil, ada batasan kemampuan tubuh manusia menerima proses bedah,” katanya.  

Sementara itu, pada jenis bedah estetika, sebaiknya pasien yang dibedah telah berusia 21 tahun. Pasien yang berusia di bawah itu, menurut Irena, masa pertumbuhan tubuhnya masih berjalan. Artinya, jika pasien berusia di bawah 21 tahun dibedah bisa mengganggu pertumbuhan tulang-tulang tubuh.

Apalagi, ya, itu tadi, proses pembedahan bisa memakan waktu tidak sebentar. Bahkan, untuk bedah plastik dengan tingkat kerumitan tinggi, prosesnya bisa berlangsung puluhan hingga belasan jam.

Usai melakukan pembedahan, umumnya pasien juga akan mengalami pembengkakan selama beberapa pekan dan butuh waktu selama 3-4 bulan untuk pemulihan atau recovery. Setelah menjalani bedah, biasanya pasien harus mengonsumsi obat penghilang rasa sakit, antibiotik profilas, obat anti-inflamasi dan tidak banyak bergerak supaya proses recovery bisa berjalan lebih cepat.


Prospeknya cerah

Hanya saja masalahnya, kata Irena, banyak pasien yang ingin mendapatkan penanganan secara instan. Artinya, ketika sang dokter sudah mengatakan “tidak”, sang pasien justru lari dan meminta penanganan dari dokter lain atau tenaga medis lain yang kurang profesional di bidang bedah plastik. Akhirnya, hasilnya tidak keruan. “Ini bisa jadi bom waktu. Bila ada masalah pasca-operasi, dokter yang mengaku spesialis bedah plastik itu tidak bertanggung jawab,” kata Irena yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Perapi.

Irena mengakui, kondisi itu tercipta akibat minimnya jumlah dokter spesialis bedah plastik di Indonesia. Saat ini jumlah dokter spesialis bedah plastik yang menjadi anggota Perapi hanya 108 orang. Dari jumlah itu, sekitar 50% ada di Jakarta.  Jumlah  itu jelas tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan jasa bedah plastik masyarakat  Indonesia yang 250 juta jiwa.

Tak heran, minimnya ketersediaan dokter spesialis bedah plastik itu menyebabkan banyak penderita, yang seharusnya ditangani seorang dokter spesialis bedah plastik, tapi ditangani oleh profesi kedokteran lainnya. Terutama untuk menjalankan bedah plastik estetika.

Mahalnya biaya bedah plastik juga menjadi pemicu maraknya klinik bedah plastik ‘kacangan’ di sejumlah tempat. Contohnya, untuk biaya konsultasi dokter bedah estetika saja, pasien harus merogoh kocek Rp 150.000-Rp 200.000 per kunjungan.

Lalu berapa tarif jasa dokter untuk bedah plastik? Sayang, Asrofi dan Irena enggan menjelaskannya. Tapi, Irena memberi gambaran, biaya bedah plastik tergantung dari tingkat kesulitan operasinya. Untuk biaya bedah bibir sumbing, misalnya, biayanya hanya berkisar Rp 3,5 juta–Rp 8 juta. Adapun bedah plastik untuk memperbaiki wajah, biayanya bisa Rp 50 juta.

Irena bilang, mahalnya biaya bedah plastik bukan tanpa alasan. Bedah plastik adalah kegiatan yang time consuming alias butuh waktu yang panjang. Selain itu, banyak material bedah plastik yang masih diimpor dari luar negeri, seperti Brasil, Eropa, dan AS. “Semakin halus benang jahit untuk bedah plastik, harganya semakin mahal. Pokoknya material yang menggunakan teknologi tinggi harganya tidak murah,” papar dia.

Asrofi menimpali, sejatinya biaya bedah plastik tidak bisa dinilai mahal atau murah. Soalnya, tidak sedikit pasien yang membayar biaya bedah plastik melalui Jamkesmas, Jamkesda, atau asuransi. “Dokter bedah plastik itu kan spesialisasinya. Profesinya tetap dokter yang fungsinya membantu masyarakat. Nah, kami mendapatkan imbalan berdasarkan kepatutan. Maksudnya, patut tidak kita dibayar semahal itu?” katanya.

Asrofi sendiri menekuni profesi dokter spesialis bedah plastik sejak tahun 2001. Ia berkisah, awalnya, ia kecemplung di profesi ini karena disarankan oleh seniornya di TNI. Ketika itu, Brigadir Jenderal Aloysius Suharto yang menjabat Kepala Sub Direktorat Pembinaan Kecabangan di RSPAD mengusulkan Asrofi menggantikan salah satu dokter bedah plastik yang memasuki masa pensiun. Usulan itu diterima oleh Asrofi.

Maka, sejak tahun 2001, Asrofi mulai menekuni profesi dokter bedah plastik. “Penempatan itu tidak lama setelah saya lulus pendidikan dokter bedah plastik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,” kata anggota TNI lulusan Militer Sukarela (Milsuk) angkatan 1987 yang kini berpangkat kolonel itu.  

Bagi Asrofi, menekuni profesi bedah plastik bukan perkara mudah. Dia harus bisa memastikan operasi yang ditanganinya berjalan baik dan hasilnya memuaskan pasien. “Tidak peduli sesulit apa pun, saya akan tetap berusaha memberi yang terbaik buat pasien,” imbuh dia.

Cerita berbeda dialami Irena, yang menekuni profesi ini sejak tahun 2004. Wanita kelahiran Jepang, 48 tahun silam, ini menekuni profesi bedah plastik karena melihat prospeknya yang cerah. “Bayangkan saja, saat ini dokter spesialisasi bedah plastik jalur pendidikan khusus hanya 108 orang. Padahal, kebutuhan dokter bedah ini sangat besar,” kata ibu dua orang anak ini.

Selama menekuni profesi ini, Irena memiliki kesan tersendiri. Irena mengaku menemukan kebahagiaan ketika dirinya bisa melihat pasiennya tersenyum dan meningkat rasa percaya dirinya setelah menjalani operasi plastik yang dibutuhkan. “Profesi ini sangat amazing. Apalagi, ketika saya melihat pasien yang saya tangani seperti bergairah kembali dalam menjalani kehidupannya,” tuturnya.

Menurut Irena, bagi seorang dokter bedah plastik, hal paling mendasar adalah kemunculan kembali rasa percaya diri para pasien yang sempat hancur atau terpuruk akibat kelainan wajah yang dialami mereka, baik karena suatu penyakit, cacat bawaan, maupun kecelakaan.

Pada umumnya, pasien bedah plastik memang orang-orang yang awalnya percaya diri. Tapi, karena kekurangan sesuatu pada tubuhnya akibat kecelakaan atau cacat, kondisi itu membuatnya terpukul. Apalagi jika mereka masih usia produktif.    


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×