kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Outlier dan defisit jaminan kesehatan


Senin, 30 Oktober 2017 / 15:43 WIB
Outlier dan defisit jaminan kesehatan


| Editor: Tri Adi

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah program mulia. Betapa tidak, program yang sudah berjalan sejak Januari 2014 ini telah membuka akses warga tidak mampu pada layanan kesehatan. Tapi, dalam empat tahun perjalanan, JKN masih dirundung beraneka masalah, seperti layanan kesehatan yang belum optimal, minimnya insentif bagi tenaga kesehatan, dan lain sebagainya. Malah program JKN selalu defisit selama empat tahun berturut-turut.

Tak pelak, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara JKN bersama seluruh pemangku kepentingan harus mencari jalan keluar terkait masalah defisit ini.

Salah satu akar permasalahan di balik defisit JKN adalah klaim kesehatan yang selalu tidak sebanding dengan jumlah iuran premi yang terkumpul. Pemangkasan anggaran pun terjadi di berbagai aspek atau pos biaya, seperti insentif kapitasi bagi tenaga kesehatan, yang berujung  menurunnya kualitas layanan kesehatan.

Padahal, ada satu cara yang sama pentingnya—tapi jarang dibahas—dengan pemangkasan aspek atau pos biaya hilir. Yaitu, membenahi aspek hulu permasalahan berupa upaya menekan angka klaim. Adapun klaim bisa ditekan jika upaya pencegahan penyakit dilakukan secara baik. Dengan kata lain, jika masyarakat sehat sejak dini, angka klaim pun akan turun dengan sendirinya.


Hidup guyup

Dari sini, kita bisa memetik pelajaran dari konsep outlier. Menurut Malcolm Gladwell dalam buku larisnya Outlier (Gramedia Pustaka Utama, 2010), outlier adalah sesuatu luar biasa yang menonjol tegas jika dikomparasikan dengan para pembandingnya. Dalam konteks kesehatan masyarakat, Gladwell menemukan outlier pada desa Roseto di New York, Amerika Serikat.  Di Roseto, para penduduknya berumur panjang dan tidak ada penduduk berusia di bawah 65 tahun yang mengidap penyakit jantung atau penyakit kronis lain. Kian luar biasa karena penduduk Roseto punya pola makan kaya lemak alias dan jarang berolahraga.

Lantas, apa resep sehat para outlier di desa Roseto tersebut? Jawabannya sangat di luar dugaan: pola interaksi antarwarga yang intim, akrab, dan penuh rasa kekeluargaan. Warga desa ini sering dijumpai saling menyapa, bercengkerama dan berbincang hangat satu sama lain. Mereka pun egaliter sehingga segala penonjolan ego maupun status oleh siapa pun (seperti status kekayaan misalnya) dianggap hina dan akan menuai kecaman. Alhasil, tidak ada kesenjangan maupun kecemburuan sosial di Roseto. Singkat kata, penduduk Roseto menjadi luar biasa sehat karena mereka memiliki kehangatan, harmoni, dan kohesi sosial yang tinggi.  

Artinya, keguyuban atau kehangatan hidup bermasyarakat sebagaimana dilukiskan oleh sosiolog Ferdinand Tonnies dengan istilah Gemeinschaft (Tonnies, Community and Society, Harper & Row, 1967) adalah kunci bagi terwujudnya suatu masyarakat yang sehat rohani maupun jasmani.

Dalam konteks kesehatan masyarakat, maka penciptaan ruang-ruang terbuka publik menjadi niscaya. Keberadaan ruang publik yang terpelihara baik dan bisa diakses gratis, plus pusat belajar maupun kebudayaan seperti perpustakaan umum dan balai budaya, akan menjadi wahana bagi masyarakat untuk saling berinteraksi dan bertemu untuk menjalin ikatan keguyuan sosial. Ini terutama penting bagi masyarakat perkotaan yang secara fitrah bercorak individualistis. Ruang publik semacam itu akan menjalin apa yang disebut sebagai, kembali merujuk Tonnies, keguyuban pikiran (gemeinschaft of mind) sekaligus keguyuban tempat (gemeinschaft of place).

Jadi, sudah saatnya bagi pemerintah di semua level, mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah mulai giat membuka ruang publik. Ketimbang mal yang bercorak individualistis dan justru merenggangkan ikatan masyarakat. Beberapa “wagiman” alias “walikota gila taman” seperti Tri Rismaharini di Surabaya maupun Herry Zudianto di Yogyakarta adalah contoh kepala daerah yang menyadari “nilai ekonomi intangible (tak kasatmata)” ruang publik terbuka berupa peningkatan kesehatan mental dan fisik warga kota.

Apabila ikhtiar kebijakan semacam ini ditempuh, niscaya masyarakat secara keseluruhan akan kian sehat, problem klasik angka klaim sekaligus angka defisit JKN bisa ditekan, dan layanan kesehatan semesta bagi seluruh masyarakat akan semakin optimal tanpa perlu membebani anggaran negara. Semoga tercapai.                   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×